Perjalanan tandu suci itu sangat pelan. Ketika tiba di kuil emas, jemaah yang mengiringinya masih mengular sampai di halaman kuil putih.
Di dalam kuil emas, kitab suci itu ditempatkan di altar khusus di tengah ruangan. Beberapa ulama duduk tafakur menghadap kitab suci.
Setelah semua sujud ke Sang Suci barulah ada ceramah agama. Selama 20 menit. Saya tidak mengerti isinya –dalam bahasa Punjab.
Baca Juga:Catatan Kecil Rohadi dari LP SukamiskinRohadi Minta Keadilan dari Balik Jeruji Besi
Usai ceramah itu barulah jemaah diperbolehkan masuk ke kuil emas. Satu persatu. Berbaris. Antre mengular sampai kuil putih. Tidak henti-hentinya sepanjang hari.
Sambil antre itu seseorang memperbaiki posisi penutup kepala saya. Rupanya ada rambut saya yang terlihat –kain penutupnya berubah posisi.
Di antrean itu saya berdekatan dengan wanita setengah baya. Dia bersama putri dan suaminya. Dia bertanya saya dari negara mana dan apakah baru sekali ini ke kuil emas.
Ternyata dia dari Inggris. Dia generasi ketiga yang lahir di Inggris. Pekerjaannya konsultan keuangan.
“Sudah berapa kali ke sini?” tanya saya.
“Sudah sering sekali. Hampir tiap tahun. Sejak saya masih kecil,” katanya.
“Ada keluarga di sini atau sengaja hanya ke sini?“ tanya saya lagi.
“Hanya khusus ke sini. Tiga hari. Lusa pulang,” katanya.
Ternyata dia satu hotel dengan saya, di Hotel Taj Swarna Amritsar. Yang tarif termurahnya Rp 7 juta semalam. Sulit mencari hotel yang tidak penuh.
Baca Juga:Komisi VIII: Majalengka Lebih Ideal Jadi Embarkasi HajiTangisan Korea Selatan di Jiwasraya
Setelah antre setengah jam akhirnya saya tiba di pintu masuk kuil emas. Saya ikuti saja apa yang dilakukan orang sebelum saya.
Ada yang sujud di depan pintu. Ada yang hanya menunduk sambil menyentuhkan jari ke lantai.
Di dalam ruang kuil emas ini banyak yang tidak disiplin. Seharusnya mereka hanya sebentar di dalam. Hanya untuk sujud atau menghormat ke kitab suci. Lalu keluar. Agar antrean lancar.
Tapi banyak sekali yang duduk berlama-lama di pojok-pojok ruangan. Sampai saya harus melangkahi mereka. Banyak juga yang mengelap-ngelapkan tangan ke pagar pembatas kitab suci –seperti minta berkah.
Saya jadi ingat di Mekkah. Begitu banyak yang memaksakan diri shalat di dekat Makam Ibrahim –sampai yang tawaf mengelilingi Kabah tersandung-sandung tubuh yang shalat.