KEMENTERIAN Luar Negeri Republik Indonesia memberikan penjelasan terkait kasus yang dialami pekerja migran Indonesia, Yuli Riswati. Seperti diketahui, Yuli dideportasi dari Hongkong dan telah tiba di Bandara Internasional Juanda pada Senin (2/12) lalu.
Kasus yang dialami Yuli menjadi perhatian sejumlah pihak. Pasalnya, Yuli sebelum dideportasi terlebih dahulu ditahan selama 28 hari oleh Imigrasi Hongkong di Pusat Imigrasi Castle Peak By.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengatakan bahwa penahanan yang kemudian berujung deportasi ini diduga dilakukan pemerintah Hongkong karena aktivitas jurnalistik yang dilakukan Yuli. Perempuan yang sudah 10 tahun menjadi buruh migran di Hongkong itu memang rutin melakukan reportase, baik tulisan maupun foto langsung dari titik demonstrasi di Hongkong yang sedang marak.
Baca Juga:Rocky Gerung: Kalau Presiden Paham Pancasila, Dia Tak Berutang#RockyGerungMenghinaPresiden Trending Twitter
Aktivitas jurnalisme warga yang dilakukan Yuli dianggap berbahaya oleh otoritas Hongkong. Yuli menyajikan semua informasi yang didapatnya melalui media alternatif bernama Migran Pos yang digagasnya bersama sejumlah pekerja migran.
Sementara itu, Migrant CARE dan Amnesty Internasional mendorong Pemerintah Indonesia untuk turun tangan. Menurut mereka, Indonesia harus memberikan perlindungan hukum terhadap Yuli. Selain itu, Migrant CARE dan Amnesty Internasional juga menyebut tindakan Hongkong tidak lazim.
“Tindakan Pemerintah Hongkong terhadap Yuli bersifat represif dan tidak lazim. Sudah seharusnya pemerintah Indonesia memprotes perlakuan tidak adil pemerintah Hongkong dan memberi perlindungan hukum untuk Yuli,” sebut Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Indonesia Anis Hidayah dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com.
Kemenlu sendiri memberikan penjelasan bahwa deportasi terhadap Yuli akibat melebihi izin tinggal (overstay). Sebelum menjalani sidang pada 4 November 2019, Yuli didakwa melanggar ketentuan Imigrasi Hongkong yaitu melebihi izin tinggal.
“Dan, selama di persidangan, fakta menunjukkan bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran keimigrasian yakni overstay,” kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu Judha Nugraha kepada media di Jakarta, Selasa (3/12) seperti dilansir Antara.
Judha juga menjelaskan bahwa pemerintah melalui KJRI Hongkong telah mengikuti dan mendampingi kasus yang dialami Yuli untuk memastikan terpenuhinya hak-hak WNI tersebut dalam sistem hukum di Hongkong. Sesuai hukum Hongkong, pelanggaran imigrasi masuk dalam kategori kasus pidana yakni pelanggar diancam sanksi denda dan penjara maksimal dua tahun.