Uang itu setelah sebelumnya diminta oleh ajudan Neneng yang meminta imbalan atas pengurusan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT). Akibat menerima uang Rp10,5 miliar itu Neneng Hasanah Yasin divonis bersalah dalam kasus suap Meikarta.
“Sebagai perusahaan publik yang keuangannya diaudit dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mana mungkin saya keluarkan uang tidak resmi sebesar itu. Saya juga tidak punya otoritas untuk menganggarkan uang di luar yang sudah dianggarkan,” tutur Toto.
Toto mengakui bukan pria dengan pendidikan ilmu hukum, melainkan perbankan. Dia menganalisa soal keberadaan uang Rp10,5 miliar yang disebutkan diberikan Melda Peni Lestari, sekretaris Direksi PT Lippo Cikarang. Uang diberikan di helipad ke Edy atas sepengetahuan Toto.
Baca Juga:Biasa Tangani Kasus Narkoba, Hakim Jamaluddin Diduga Dibunuh?Duduk di Kursi Roda Sakit Stroke dan Gangguan Mata, Begini Nasib Guru Honorer
“Saya akan pakai analisa follow the money. Uang Rp10,5 M itu besar, tidak ada asal usul soal uang. Padahal kalau dicari tahu, untuk ambil di bank Rp500 juta saja harus ada KTP. Belum tentu bank bisa keluarkan uang Rp10,5 M. Kalau dicicil, ambil senilai itu perlu 20 kali bolak balik ke bank,” ungkap Toto
Padahal, tandas Toto, fakta soal uang suap itu sebesar Rp1,5 miliar saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Taryudi dan Neneng Rahmi. “Jadi sumber uang Rp 10,5 M itu dari mana,” tandas dia.
Dalam video tersebut Toto juga menegaskan, penetapan tersangka kepada dirinya dinilai tidak objektif. Pasalnya, KPK hanya memiliki satu alat bukti, yaitu kesaksian Edy Dwi Soesianto.
Sementara itu, Supriyadi, kuasa hukum Bartholomeus Toto, membenarkan Toto mengunggah tiga video tersebut di Youtube. Orang yang “curhat” di dalam tiga video itu benar merupakan kliennya, Bartholomeus Toto. “Betul di video itu memang pak Toto. Cuma saya tidak tahu itu video rekamannya diambil di mana,” kata Supriyadi. (*)