Aku bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga kakakku tidak terinfeksi HIV. Namun sejak 5 tahun lalu, mereka pergi. Mungkin bosan selalu diusir, diolok-olok, dijauhi masyarakat tempat kami tinggal karena ada aku yang memiliki virus HIV.
Ketika masih kecil aku sering sakit-sakitan. Di usia 5 tahun, berat badanku hanya 6 kg, karena berbagai macam penyakit ada di tubuhku. Semua membaik setelah seorang dokter mau mengobati dan membantu biaya perawatanku.
Andai diizinkan, aku ingin menjadi tentara. Sayang sekali sekolah mengeluarkanku. Padahal aku sehat lho, bisa bemain sepak bola, bisa menyanyi. Meskipun di pelajaran matematika aku lumayan kesulitan. Tapi nilai-nilaiku masih cukup bagus, tidak ada yang merah. Kata ibu Mawar, aku bisa jadi tentara kalau nilainya terus bagus.”
Rumi
Baca Juga:Hadapi Gerakan OPM, Begini Paparan Mantan Kepala BAIS TNIBMKG Ungkap Fenomena 200 Hari Tanpa Hujan di Beberapa Wilayah
Rumi, yang berusia 11 tahun adalah seorang yatim piatu. Perempuan ini diasuh neneknya.
Rumi mengetahui status HIVnya saat berusia 9 tahun. Rumi diyakini terinfeksi HIV dari ibunya yang juga positif. Meskipun begitu, adik Rumi tidak tertular karena saat mengandung si adik, ibunya telah mendapatkan perawatan antiretroviral.
Pada awalnya, dia kerap mempertanyakan mengapa harus minum obat padahal dia merasa badannya sehat. Namun, nenek dan dokter yang merawat meyakinkannya bahwa obat itu diperlukan untuk bisa tumbuh sehat.
Cita-citanya adalah menjadi guru. Namun, cita-cita itu pupus ketika gurunya sendiri meminta Rumi untuk belajar di rumah. Berhenti ke sekolah.
Beberapa orang tua teman-temannya juga melarang mereka bermain dengan Rumi.
Kondisi itu membuatnya menjadi anak yang lebih pendiam.
Penyakit yang baru diketahuinya dua tahun lalu, telah mengubah segalanya.
Cegah Penularan Ibu-Anak
Dengan berbagai diskriminasi terhadap ADHIV, dokter Adiyana Esti menegaskan bahwa bergaul dengan anak yang HIV positif ‘tidaklah berbahaya’.
“HIV tidak menular melalui kontak sosial seperti bermain bersama, menggunakan toilet dan kolam renang, bertukar pakaian, makan dan minum dan menggunakan peralatan tersebut bersama, tinggal dalam satu lingkungan dan rumah yang sama,” kata Esti kepada VOA Indonesia.
“ADHIV sama seperti anak yang lain yang punya hak untuk bersekolah, bermain, memiliki tempat tinggal tanpa stigma dan diskriminasi,” lanjutnya.