UPS, saya ke Banyuwangi lagi. Sudah banyak yang baru lagi.
Bahkan sudah ada kafe yang terbesar di Indonesia seluas 1,5 hektar. Saya diminta menghadiri peresmiannya: Sabtu sore lalu. Di tengah kota Banyuwangi. Namanya Hedon Cafe.Juga sudah ada kuliner unik minggu pagi: di Desa Kemiren. Di pinggiran Kota Banyuwangi. Saya juga ke desa itu untuk makan pecel pitik, pecel ayam. Sedap sekali.Ada pula kuliner khusus masakan Arab. Tiap Kamis malam. Yang ini saya simpan dulu sebagai dendam.Soal Hedon saya heran. Kok ada orang membuka cafe seluas itu. Pohon yang ditanam pun mahal-mahal. Ada pohon yang dibeli dengan harga Rp 500 juta.Mobil yang dipajang di halamannya juga mahal-mahal: Porche, McLaren, Ferrari, dan entah apa lagi.Bagian bawahnya ada Excelso. “Betul. Ini Excelso kami yang terbesar,” ujar Kevin Mergonoto, putra pemilik kopi Kapal Api itu.Pemiliknya Hedon sendiri seorang dokter gigi. Yang pengusaha: David. Yang hobinya koleksi mobil murah, untuk ukuran kolektor pesawat.
Tempat praktik dokter giginya pun lux sekali, meja kursi lemarinya merek McLaren. Bahan-bahan untuk crown dan implant gigi ia ciptakan sendiri.
Dulunya David anak miskin, miskin sekali. Untuk sekolah harus sambil bekerja. Kuliah juga sambil cari uang. Akhirnya bisa merancang kursi pasien gigi. Lalu punya pabrik kursi pasien gigi.Ia buka kafe bukan untuk bisnis. “Untuk mendukung kemajuan Banyuwangi,” kata teman saya itu.Tapi pecel ayam Kemiren tidak kalah keren. Bahkan itu yang telah mengalahkan pesta di Jakarta. Saya pamit tidak menghadiri pesta itu. Yakni pesta kawin peraknya bos besar Chairul Tanjung.Selamat menuju kawin emas, yang akan saya rayakan enam tahun lagi.Begitu penting pecel pitik di sebuah jalan sempit di pinggiran kota ini. Mungkin terkait masa lalu saya. Ikatan saya dengan kelapa sekuat akar kelapa itu sendiri. Saya memang senang yang serba kelapa.Kue Manado misalnya, yang saya pilih pertama pasti kenari yang dicampur kelapa itu.Di masa kecil kelapa sama pentingnya dengan tebu. Rucuh air kelapa dicampur gulaadalah minuman terlezat di desa. Enting-enting, irisan kelapa yang dicampur gula merah beku, adalah kue tergurih.Kalau lagi tidak musim tebu saya memanjat pohon kelapa. Di samping rumah. Untuk memetik yang masih muda, tidak pernah ada yang sempat tua.Air dan daging kelapa muda.Itulah makan siang saya hari itu. Pernah, belum lagi dapat meraih kelapanya pelepah pegangan saya lepas. Saya jatuh, untung ke parit yang berlumpur di bawahnya.Pecel pitik Banyuwangi ini pakai bahan baku kelapa. Ayamnya dibakar dulu. Setelah itu dibumbui santan kelapa. Tidak sampai berkah.Sambalnya parutan kelapa mentah. Diulek dengan cabe mentah dan kemiri mentah. Tanpa bawang putih atau bawang merah. Hanya ditambah garam dan sedikit gula.Ulekan sambal serba mentah itulah yang ditabur sampai menutup ayamnya.Tidak hanya pecel pitek. Jalan sempit di Desa Kemiran itu padat makanan desa. Beda rumah beda yang dijual: ayam lodoh, sate jamur sampai sambal sego tempong. Dalam bahasa Osing tempong artinya tampar. Makan sambal ini rasanya seperti ditampar, saking pedasnya. Pun usus saya. Sampai terasa tertampar.