Suaminya yang menjadi pimpinan pabrik di situ.
Pekarangan rumah ini sangat luas. Hampir 2000 meter. Pun di depannya masih ada lapangan basket milik RW. Juga ada masjid.
Di ruang depan itu ada lukisan Hanoman. Juga ada wayang kulit Gatotkaca. Saya mengambil si Gatutkaca dan kangen memainkannya.
Saya pun ingin tahu siapa orang tua Maulina. Termasuk saat menjadi tentara, dinas di mana saja.
Ayahnya pindah-pindah.
“Terakhir pangkatnya apa?” tanya saya.
Baca Juga:Bank Dunia Catat Pembelajaran Siswa di Indonesia Masih RendahKembalinya Dinasti Politik Indonesia?
“Bintang tiga. Mayor Jendral,” ujar sang ibu. Yang penampilannyi begitu sederhana.
“Lho, namanya siapa? Siapa tahu saya kenal,” kata saya.
Sang ibu menyebut nama suaminya.
Ups… Ternyata teman baik saya juga. Sejak beliau masih mayor atau letkol. Saya masih redaktur. Tanpa diatur: bapak teman bapak. Anak teman anak.
Tidak perlu diceritakan lagi. Saya tahu. Karirnya selalu di bagian intel. Terakhir menjadi pejabat tinggi di BIN, sebelum pensiun dulu.
“Beliau kan orang Minang. Kok banyak wayang di sini?” tanya saya.
“Saya yang Blora,” jawab sang ibu.
Saya melarang sang ibu membangunkan suaminya. Biarlah besoknya saja saya WA beliau bahwa saya sudah datang ke rumah beliau.
Saya berjanji akan bertemu Maulina lagi tahun depan. Ingin tahu: apakah benar dia bisa menjadi 60 Kg. Saya juga akan menyalami Iqbal, sang suami.
Melihat tahapan apa yang dia lakukan, kelihatannya dia bisa. Karena itu saya tidak mau taruhan untuk itu. (Dahlan Iskan)