Setahun berikutnya, harga HRC anjlok menjadi US$560-580 per ton. Tahun itu juga menjadi awal Krakatau Steel konsisten merugi. Setelah 2012, harga HRC terpantau fluktuatif dengan tren menurun. Harga HRC pada akhir 2018 sebesar US$535-545 per ton.
“Pasar [modal] sebenarnya menunggu realisasi (pabrik olahan bijih besi berteknologi) blast furnace yang diklaim membuat biaya produksi lebih efisien. Namun sampai saat ini belum ada hasilnya. Kalau itu ada, beban usaha mungkin bisa ditekan,” jelas Alfred.Selama ini, pengolahan bijih besi di pabrik Krakatau Steel menggunakan gas alam. Apabila fasilitas blast furnace dapat digunakan, biaya produksi akan lebih murah lantaran fasilitas itu menggunakan batu bara dalam operasionalnya, tidak lagi gas.
Kondisi Krakatau Steel juga semakin sulit manakala impor besi dan baja leluasa masuk ke Indonesia. Menurut BPS, nilai impor besi dan baja pada Juli 2018 sudah tumbuh 56,55 persen menjadi US$996,2 juta dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Baca Juga:Menjadi Penulis di Era Revolusi Industri 4.0Tjahjo Kumolo Larang ASN Pakai Cadar
Impor baja yang semakin membanjiri pasar Indonesia bahkan dikeluhkan Asosiasi Besi Baja Indonesia. Menurut mereka, pelaku industri dalam negeri kesulitan untuk menaikkan utilisasi (pemanfaatan kapasitas produksi terpasang) pabrik yang rendah lantaran derasnya impor baja yang masuk.
“Rata-rata utilisasi pabrik besi dan baja hanya sekitar 50-60 persen (dari total kapasitas produksi), jauh dari minimal sebesar 70 persen. Padahal 70 persen itu pun juga belum tentu untung,” kata Direktur Asosiasi Besi Baja Indonesia Yerry Indroes.
Selain biaya produksi yang belum efisien dan derasnya baja impor, kesulitan Krakatau Steel untuk untung juga dikarenakan beban keuangan yang besar, antara lain dari utang usaha Krakatau Steel, baik utang jangka pendek maupun panjang.
Dalam Laporan Tahunan 2018, beban keuangan Krakatau Steel sepanjang 2018 mencapai US$112 juta atau setara dengan Rp1,57 triliun (kurs Rp14.038 per dolar AS). Beban tersebut membengkak lebih dari 2 kali lipat pada 2011 yang hanya US$41 juta.
Melonjaknya beban keuangan Krakatau Steel juga tidak terlepas dari jumlah utang perseroan. Hingga 2018, total utang perusahaan mencapai US$2,49 miliar yang terdiri dari utang jangka pendek US$1,60 miliar dan jangka panjang US$899 juta.