Tanggal 22 Maret 2019, salah satu direktur PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehari setelah OTT, KPK menetapkan Direktur Teknologi dan Produksi Krakatau Steel Wisnu Kuncoro sebagai tersangka suap.
Wisnu ditangkap karena diduga melakukan korupsi dalam pengadaan kebutuhan barang dan peralatan di Krakatau Steel masing-masing senilai Rp24 miliar dan Rp2,4 miliar.
OTT ini semakin membuat langkah KS semakin berat. BUMN ini sebelumnya juga didera masalah kinerja yang tak kunjung membaik. Pada 2018, perseroan membukukan rugi sebesar US$77 juta atau senilai Rp1,08 triliun.
Baca Juga:Menjadi Penulis di Era Revolusi Industri 4.0Tjahjo Kumolo Larang ASN Pakai Cadar
“Meski begitu, rugi bersih 2018 ini mengalami perbaikan hingga 10,38 persen ketimbang rugi bersih 2017 yang tercatat US$86 juta,” kata Silmy Karim, Direktur Utama PT Krakatau Steel dalam Laporan Tahunan KRAS 2018 (PDF).
Krakatau Steel, sebagai perusahaan lahir pada 31 Agustus 1970 dari rahim Orde Baru, meski gagasan pembangunannya sudah ada sejak zaman Soekarno 1960-an, dimulai dengan peletakan batu pertama pada 20 Mei 1962.
Presiden Soeharto berharap banyak dari Krakatau Steel saat mulai berdiri, terutama dalam menyokong kebutuhan industri baja domestik. Namun, dalam perjalanannya, untuk mengembangkan BUMN baja itu tidak mudah. Tantangan persaingan dengan industri baja global yang kompetitif, dan inefisiensi di tubuh Krakatau Steel hanyalah segelintir masalah saja.
Rapor merah kinerja keuangan Krakatau Steel pada 2018 bukan hal yang baru. Hal itu dikarenakan, perseroan memang sudah lama tidak meraup untung dari penjualan bajanya selama tujuh tahun terakhir.
Kenapa Krakatau Steel sulit untung?
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai ada sejumlah faktor yang membuat Krakatau Steel sulit untung dalam tujuh tahun terakhir ini, di antaranya seperti biaya produksi baja perseroan masih mahal alias belum efisien.
“Cost production mereka masih tinggi. Ketika harga baja dunia turun, mau tidak mau harga baja mereka juga turun agar bisa bersaing dengan baja impor. Masalahnya, cost production itu susah turun,” tutur Alfred kepada Tirto.
Menilik satu dekade terakhir, harga baja dunia memang terus menurun. Ambil contoh produk baja canai panas atau Hot Rolled Coils (HRC) > 2 mm. Ketika Krakatau Steel masih untung, harga HRC—mengacu pada patokan harga dari UAE Steel Price Indications—sebesar US$630-660 per ton pada 2011.