INGAT anak panah berdetonator milik John Rambo (eks prajurit Baret Hijau US-Army yang kerap menjadi pahlawan di film-film Hollywood)? Ternyata senjata tradisional berujung peluru itu pernah nyaris akan digunakan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam melawan militer Belanda.
Ceritanya, suatu hari di tahun 1949, seorang instruktur senior di MA (Militer Akademi) bernama Letnan Kolonel Sahirdjan berhasil membuat sejenis “senjata mutakhir”: panah berpeluru. Dalam ideal pemikiran Sahirdjan, selain mudah dan efektif digunakan dalam perang gerilya, keunggulan senjata ini pelurunya bisa ditembakan tanpa suara dan bila ujung panah berdetonatornya mengenai sasaran vital maka akan berakibat kematian sang musuh.
Maka sebelum diluncurkan, dicobalah senjata tersebut. Sebagai sasaran tembak adalah seekor kambing jantan. Di hadapan ratusan rakyat Yogyakarta dan para kadet, Sahirdjan kemudian merentangkan busur. Semua penonton menahan napas, saat anak panah melesat dari busur dan menghantam sang kambing…Dor! Kambing pun terkulai.
Baca Juga:Rakor Perdana Kemenko Polhukam, Prabowo dan Tito Mana?361 Anggota DPR Setuju, Idham Azis Sebagai Kapolri
Para penonton bersorak sorai seraya memberi tepuk tangan tiada henti. Sahirdjan tersenyum, para kadet tertawa bangga. Namun baru saja tepuk tangan riuh itu berhenti, tiba-tiba “kambing mampus” itu bangun kembali dan mengembik, siuman dari pingsannya. Spontan penonton kembali bertepuk tangan. Kali ini diiringi tawa lepas seolah tak henti. Sahirdjan sendiri sambil tersenyum menggaruk-garuk kepalanya walau tak gatal.
“Maka gagallah ‘senjata mutakhir’ itu digunakan untuk memerangi tentara Belanda, karena tidak mematikan dan hanya membuat pingsan,” ungkap sejarawan militer Moehkardi kepada Historia.id.
Sosok nyentrik nan sederhana Sahirdjan ternyata tidak pernah hilang hingga menjelang dirinya berpangkat briagadir jenderal dan memangku status sebagai guru besar di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Magelang. Kendati merupakan pejabat senior, Sahirdjan dalam kehidupan sehari-hari tetap jauh dari kemewahan dan memelihara sikap rendah hati.
Dikisahkan dalam buku karya Moehkardi, Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949, “pakaian kebesaran” Sahidrdjan jika tidak sedang bertugas, adalah celana pendek dan kaos oblong lusuh. Pokoknya jika kebetulan melihatnya berpenampilan seperti itu, orang yang belum kenal pasti menyangka Sahirdjan bukan seorang jenderal guru besar AKABRI.