Fakta KeduaBIN memiliki anggaran yang membuat siapapun elit yang berkecimpung di dunia intelijen, keamanan dan pertahanan menelan ludah dan berlomba-lomba untuk menguasainya. Meskipun, anggaran BIN tersebut relatif masih kecil bila dibandingkan 5 negara berpenduduk terbesar di dunia seperti China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Pakistan, namun manajemen yang kurang berorientasi pada profesionalisme dan integritas penggunaan anggaran menyebabkan terjadinya salah arah dalam penggunaan anggaran.
Meskipun BIN tercatat mendapatkan penghargaan dengan pengelolaan anggaran yang baik, namun kenyataan bahwa terjadi ketimpangan take home pay yang disebabkan oleh pembentukan Satgas-Satgas berbiaya besar dengan hasil yang kurang terukur menyebabkan pemborosan anggaran dan pemberian reward operasional yang berlebihan sebagaimana terjadi juga di Densus 88.
Hal ini jelas sangat tidak sehat karena fungsi-fungsi operasional dari struktur yang ada justru mengalami kekurangan anggaran. Seharusnya dilakukan revitalisasi struktur dengan alokasi anggaran yang cukup sehingga tidak perlu dibentuk satgas-satgas berbiaya besar tersebut.
Baca Juga:Disebut Amran Ada Mafia Data, Ini Penjelasan BPSKambing Semok
Fakta bahwa anggaran BIN besar namun tidak dikelola secara tepat sasaran tersebut telah menyebabkan beberapa pihak melihat BIN sebagai sasaran empuk untuk proyek.Â
Fakta KetigaMungkin ada benarnya juga saat itu Menteri Tedjo menyatakan laporan BIN meleset atau kurang akurat. Hal ini mudah untuk dicari tahu penyebabnya mengapa? Pertama sumber daya manusia BIN boleh dikatakan salah satu yang paling lemah secara intelektual akademis dari rasio jumlah karyawan terhadap level pendidikan SMA, Sarjana S1, S2, dan S3.
Dalam imajinasi atau sebagaimana kita baca di buku-buku sejarah intelijen, seharusnya rasio level pendidikan aparatur di lembaga intelijen menyamai lembaga pendidikan seperti Universitas, khususnya untuk kalangan analis intelijen sehingga mereka betul-betul ahli bahkan jauh lebih ahli dari pengamat yang sering bicara di media massa.
Apa yang terjadi di BIN dan di seluruh badan intelijen di negeri tercinta ini adalah analisa common sense yang sebenarnya dapat dilakukan oleh siapapun yang bahkan tidak memiliki latar belakang intelijen.
Masalah rendahnya level pendidikan di BIN tersebut diperparah oleh skill lapangan yang rendah yang terlihat dalam penguasaan wilayah, jaringan, dan akses yang kurang baik. Namun tidak semuanya, ada bagian-bagian yang bersinar cemerlang dengan level penetrasi ke pihak lawan yang sangat baik, dan ada yang biasa-biasa saja dan ada yang buruk. Hal ini seharusnya dapat diperbaiki dengan manajemen intelijen yang lebih baik dengan pembinaan dan pelatihan yang terus-menerus.