Ketegasan yang diungkapkan oleh Kepala BIN, Letjen (Purn) TNI Marciano Norman tersebut bukan saja akan menghilangkan keragu-raguan dari kekuatan-kekuatan politik dalam negeri Indonesia, melainkan juga menjadi rujukan utama seluruh Insan Intelijen pembela kedaulatan NKRI dan pelindung kepentingan rakyat Indonesia.
Berdasarkan pada UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Perpres No.90 Tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara dan Perpres No.67 tentang Koordinasi Intelijen Negara, diharapkan ke depannya Intelijen Negara benar-benar mampu menjadi mata dan telinga serta analis dari setiap ancaman terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara seluruh rakyat Indonesia.
Hanya satu pengecualian, yaitu saat terjadi desas-desus “penculikan” mantan Ketua Umum Partai Demokrat, secara psikologis dan komunikasi massa terjadi ketergesa-gesaan untuk membantah, sehingga melahirkan spekulasi pandangan yang sebaliknya bahwa terjadi suatu upaya monitoring dan isolasi terhadap kelompok Anas Urbaningrum.
Analisa terhadap tarik-menarik calon Kepala BIN
Fakta Pertama
Baca Juga:Disebut Amran Ada Mafia Data, Ini Penjelasan BPSKambing Semok
Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam sipil – militer terkait penentuan Kepala BIN. Hal ini digerakkan oleh fakta pemanfaatan struktur dan jabatan di BIN sebagai jalur promosi PATI Militer yang meningkat drastis sejak BIN dipimpin oleh Marciano Norman. Masalah ini pula yang menyebabkan Sutanto yang berlatar belakang Polisi disingkirkan oleh Presiden SBY.
Namun jangan dilihat jalur promosi PATI Militer ini sebagai hal yang negatif karena dimungkinkan oleh UU Intelijen No. 17 Tahun 2011. Dengan alasan kurangnya sumber daya manusia BIN, maka masuklah elemen militer yang jumlahnya cukup signifikan mewarnai unsur pimpinan maupun pelaksana operasional dengan fasilitas-fasilitas yang mampu menyerap anggaran BIN secara efektif.
Apabila elemen militer aktif yang dipromosikan di BIN memiliki latar belakang intelijen yang kuat tentunya tidak akan menjadi masalah, namun faktanya tidak demikian, silahkan diperiksa langsung kepada yang berwenang di BIN dan TNI. Proses ini akan menghancurkan kredibilitas BIN, satu-satunya cara menghentikan proses pembusukan ini adalah dengan perbaikan proses seleksi/rekrutmen kalangan militer dengan persyaratan latar belakang intelijen dan pengalaman yang cukup.
Singkat kata, dapat dipahami bila jajaran TNI tidak akan rela melepaskan kepemimpinan BIN kepada sipil, namun BIN jangan dikooptasi dengan Surat Keputusan Panglima yang membuat posisi BIN seperti dibawah Panglima TNI dalam masalah penentuan jabatan dan promosi personil asal TNI. Fakta yang terjadi adalah BIN “tunduk” pada SK Panglima TNI, hal inilah yang merusak merit system di tubuh BIN dan menimbulkan kelesuan bahkan boikot di beberapa wilayah operasi karena ketidakmampuan atau ketidakmengertian pejabat intelijen di BIN yang tidak memiliki latar belakang intelijen yang kuat.