Kedua, karena semaraknya pemain di level pedagang perantara –sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, banyak pedagang yang berburu barang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, memberi kesempatan petani tembakau untuk memilih penawar terbaik. Jika tembakaunya bermutu baik, sementara angka tawaran dari pedagang kurang menggiurkan, petani tak perlu kuatir untuk menampik. Sebab, begitu pedagang pertama pergi, pedagang berikutnya akan datang mengajukan tawaran yang lebih baik.
Membongkar Mitos, Menyelamatkan Petani
Tentu hanya sekelumit saja mitos-mitos seputar tata niaga tembakau yang sempat disinggung dalam tulisan pendek ini. Jelas masih banyak mitos seram lain yang perlu dijernihkan oleh para pembela tembakau dan petani tembakau. Sebab, membongkar ini semua, tidak saja membutuhkan tulisan yang lebih panjang, tapi mungkin juga sebuah buku yang lebih serius dengan data-data yang lebih terang.
Yang perlu ditegaskan, membongkar mitos-mitos dalam tata niaga tembakau, sebagaimana juga dalam isu-isu tembakau secara umum, harus menjadi agenda penting dan mendesak bagi segenap stakeholders tembakau, termasuk didalamnya para pemerhati tembakau. Sebab, jika titik tolaknya adalah advokasi terhadap nasib petani tembakau, solusinya adalah membongkar mitos-mitos tersebut. Mengekalkan mitos-mitos itu, memperburuk citra tembakau di mata publik, apalagi sampai mengondisikan petani menukar budidaya tembakaunya dengan tanaman lain, tak ubahnya merubuhkan lumbung hanya karena beberapa ekor tikus.
****
Agus Setiawan, Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI)