Yang jadi Menko ternyata justru dari warga Muhammadiyah: Muhadjir Effendy. Mantan Mendiknas. Yang sama sekali tidak disangka-sangka.
Mungkin ada perhitungan ini: empat menko itu harus dibagi. Militer dapat satu –Luhut Panjaitan, Menko Kemaritiman, Energi dan investasi.
Politik dapat satu –Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian.
Sayap modernis dapat satu –Muhajir Effendi, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang.
Tradisionalis mendapat satu –Mahfud MD, Menkopolhukam.
Baca Juga:Dua Wamen Dampingi Erick Tohir, Ini AlasannyaTrenggono Hormat ala Militer, Prabowo Subianto Tak Membalas di Hadapan Surya Paloh
Mahfud memang NU. Madura pula. Anak emas Gus Dur. Tapi Mahfud juga terbilang sayap modernis (HMI) di NU.
Akankah ada jabatan wakil menteri untuk menyelesaikan kekecewaan-kekecewaan mereka yang sudah berkeringat itu?
Ataukah sebenarnya keringat itu sudah dibayar lunas justru sebelum bekerja dulu?
Banyak kepala daerah yang ketika maju Pilkada harus lebih dulu ”membeli perahu”.
Setelah terpilih pemilik perahu kecewa. Kok sang kepala daerah tidak mempedulilannya lagi. Kok seperti tidak ingat waktu jadi calon dulu –pakai kendaraan apa.
Banyak kepala daerah yang dengan enteng menjawab: saya memang pakai perahunya. Tapi kan sudah dibayar lunas di muka?
Setiap habis Pemilu banyak sekali yang kecewa. Apalagi yang sudah ge-er duluan. Atau yang merasa paling berkeringat.
Baca Juga:Gagal di DPR, Anak Hary Tanoe yang Ditunjuk Jokowi Jadi Wakil MenteriSertijab Menhan, Prabowo Disambut Upacara Jajar Kehormatan
Itulah kekecewaan lima tahunan. Kali ini bukan yang pertama. Dan pasti bukan pula yang terakhir.
Dalam kabinet ini ada juga sosok yang sama sekali tidak ingin jadi menteri. Malah jadi. Misalnya dr Mayor Jendral Terawan. Yang dipilih menjadi Menteri Kesehatan.
Orangnya suka mengalah. Pendiam. Tidak ingin jadi apa-apa. Pikirannya terpusat pada pengembangan terapi ”brain washing”.
Ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menentang terapinya itu dr Terawan diam seribu basa. Ia tidak mau menjawab –apalagi melawan. Diwawancara media pun tidak mau.
Tapi ia terus mengembangkan terapinya itu. Lantaran banyak yang merasa tertolong. Saya menjalaninya dua kali. Istri saya sekali. Ribuan orang lagi yang antri.
Kini sudah banyak ”anak didik”-nya yang bisa melakukan terapi itu. Belakangan tinggal pasien tertentu yang langsung ditanganinya.
Saya masih ingat lagu kegemarannya. Yang selalu ia nyanyikan. Sambil menerapi pasiennya. Sampai yang dicubles jarum pun tidak terasa. Lagu itu kita kenal semua: doa ibu.