Di luar negeri kini beredar berita tentang Indonesia: elit politik lagi berusaha mengubah konstitusi.
Tujuannya: agar tidak ada lagi pilpres secara langsung. Di pemilu yang akan datang tidak ada lagi pilpres. Presiden kembali dipilih oleh MPR.
Menurut berita itu pilpres secara langsung hanya menyebabkan terbelahnya bangsa. Seperti yang terjadi di pilpres barusan.
Baca Juga:Anggota Ombudsman Ungkap Pesawat Garuda dan Sriwijaya Retak Berumur 15 TahunWaspada! Penipuan Jelang Seleksi CPNS 2019
Terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR, La Nyala Mataliti sebagai Ketua DPD dan Bambang Susatyo sebagai Ketua MPR sebagai pertanda-pertandanya.
Menurut berita itu, elit politik sekarang ini juga lagi berusaha mengurangi kekuasaan Presiden Jokowi. Tidak disebutkan bagaimana cara mengurangi kekuasaan itu. Hanya sedikit disinggung soal akan ditetapkannya GBHN oleh MPR ke depan.
Ide pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR pernah terdengar di masa lalu. Hanya saja alasan waktu itu hanya soal biaya yang besar.
Kini alasan itu ditambah soal yang lebih mendasar: perpecahan bangsa.
Pertemuan antar tokoh partai politik belakangan ini harus dikaitkan dengan persiapan perubahan konstitusi itu. Termasuk pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subiyanto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan dan Ketua Umum Nasdem.
Kalau saja Gerindra sudah sepakat untuk perubahan itu selesailah.
Perubahan itu hampir pasti akan menjadi kenyataan. Hanya diperlukan 2/3 suara di MPR. Dengan bergabungnya Prabowo, amandemen UUD 45 akan dilakukan dengan mudah.
Saya melihat pergerakan tokoh-tokoh partai belakangan ini dari sisi amandemen itu. Bukan hanya soal bagi-bagi kekuasaan.
Meskipun, amandemen UUD itu prosesnya masih akan sangat panjang dan lama. Belum tentu juga Prabowo mulus jadi satu barisan dengan koalisi pendukung pemerintah.
Baca Juga:Lion Air Group Gelar Promo Jelajah Sumatra UtaraLion Air Group Layani 245.547 Penerbangan pada Dua Kuartal 2019
Berita di luar negeri yang saya ikuti ini seperti memberikan simpati pada Presiden Jokowi. Yang dalam pergerakan-pergerakan itu diposisikan sebagai ditinggal sendirian. Bahasa halus untuk dikucilkan. (Dahlan Iskan)