JAKARTA-Upaya Jokowi mengurangi jumlah pengangguran di periode pertama pemerintahannya patut diapresiasi. Meski ekonomi cuma tumbuh di kisaran 5-5,2 persen, tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih bisa ditekan hingga posisi 5,01 persen—per Februari 2019.
Namun, bukan berarti pemerintah bisa jemawa. Sebab, penurunan tingkat pengangguran itu justru melambat ketimbang periode 2009-2014. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di periode akhir SBY itu menyusut dari 7,87 persen (Agustus 2009) menjadi 5,94 persen (Agustus 2014.)
Pemerintah perlu berhati-hati dengan serapan tenaga kerja yang mencapai 94,9 persen atau setara 129,36 juta orang itu. Sebab, dari komposisi tenaga kerja Indonesia didominasi lulusan SD dan SMP sebanyak 75,37 juta orang atau 58,7 persen.
Baca Juga:UU Baru Berlaku, Mungkin KPK Tak Ada OTT Lagi?Susul Kepala BPJN Wilayah XII Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR, 6 Orang Dibawa KPK
Belum lagi, persentase pengangguran berpendidikan tinggi mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir—kecuali lulusan SMA yang turun dari 9,10 (Februari 2014) menjadi 6,78 persen (Februari 2019).
Pengangguran dengan ijazah SMK, misalnya, bertambah dari 7,21 persen menjadi 8,63 persen. Sementara pengangguran lulusan Diploma I/II/III dan Sarjana naik dari 5,87 persen menjadi 6,89 persen dan 4,31 persen menjadi 6,24 persen.
Berbanding terbalik, tren angka pengangguran SD sampai dengan SMP dalam 5 tahun terakhir ini justru menurun. Pada 2014, angka pengangguran SD turun dari 3,69 persen menjadi 2,65 persen. Sementara SMP turun dari 7,44 persen menjadi 5,04 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, angka ini bisa menjadi bom waktu karena pasar tenaga kerja ke depan mengarah ke automatisasi.
“58 persen orang yang bekerja masih lulusan SMP ke bawah. Ada isu nanti ke depan lapangan kerja banyak yang akan hilang meski ada juga yang bermunculan. Kalau skillterbatas, mereka akan susah adaptif,” ucap Heri saat dihubungi reporter Tirto Selasa (15/10/2019).
Memang, secara intuitif, umumnya lulusan pendidikan SMA hingga Universitas cenderung pilih-pilih dalam mencari pekerjaan. Tapi menurut Heri, hal itu tak bisa dijadikan apologi lantaran di saat yang bersamaan, kinerja industri pengolahan atau manufaktur juga menunjukkan perlemahan.