“Benda-benda berharga penumpang seperti dompet dan perhiasan dilucuti kelompok pembajak. Seorang penumpang bernama Emma (21 tahun), hanya bisa pasrah ketika seorang pembajak melucuti gelangnya seberat 20 gram, arloji, dan uang tunai Rp 300.000,” dilansir Angkatan Bersenjata, 2 April 1981.
Menurut B. Wiwoho dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah, dua dari kawanan pembajak juga melakukan tindakan pelecehan kepada beberapa penumpang perempuan. Di Bangkok, Kepala Badan Kordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Jenderal Yoga Sugomo menjadi perwakilan Indonesia sebagai negosiator. Yoga hendak mengulur waktu sembari Benny Murdani dan Sintong mempersiapkan pasukannya. Kepada Yoga, pemimpin pembajak mengajukan tuntutannya:
Pembajak meminta agar rekan-rekannya yang tertangkap dalam Peristiwa Cicendo dibebaskan. Peristiwa yang dimaksud adalah penyerangan pos polisi di Cicendo, Bandung yang dilakukan pemuda-pemuda kelompok Jamaah Imran, sebuah perkumpulan Islam radikal pada 11 Maret 1981. Selain itu, “… Uang tebusan sebesar 1,5 juta dolar, serta sebuah pesawat untuk menerbangkan para pembajak dan rekannya yang telah dibebaskan ke suatu tujuan yang belum diketahui (diperkirakan Libya),” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Baca Juga:Penyanyi Dangdut Jebolan D’Academy 2 Ditangkap Polisi karena SabuLemkapi Kecam Pernyataan Veronica Koman di Stasiun TV Australia
Setelah Yoga berunding dan berjanji tuntutan pembajak akan terpenuhi pada keesokan pagi, pasukan Sintong bergerak membebaskan pesawat, pada pukul 02.00 dini hari, 31 Maret 1981. Sebelumnya sempat terjadi perdebatan pasukan mana yang akan melakukan operasi: ABRI atau Tentara Kerajaan Thailand. Namun setelah diadakan simulasi pembebasan, ternyata pasukan Sintong jauh lebih cepat daripada tentara Thailand.
Operasi pembebasan berjalan sukses. Meski demikian baku tembak tak terhindarkan. Saat penyergapan, seorang pembajak menembakan pistolnya yang mengenai Herman Rante yang duduk di bangku kemudi sebelah kiri. “Rante ditembak pembajak yang menjaga bagian kokpit pada pelipis kirinya, ketika bereaksi dengan coba memutar badan ke belakang,” tulis B. Wiwoho. Kendati sempat mendapat perawatan, Rante meninggal enam hari kemudian.
Di pihak Kopassus, seorang prajurit gugur dalam penyergapan itu. Namanya Ahmad Kirang, seorang Calon Perwira (Capa). Saat pasukan penyergap mendobrak pintu belakang Kirang dengan cepat menaiki tangga hidrolik. Namun malangnya dia langsung terkena tembakan di bagian bawah perut nya yang tak dilindungi rompi antipeluru.