JUMAT pagi, di Bandara Talang Betutu, Palembang, 28 Maret 1981. Seperti biasa, Kapten Herman Rante, pilot berusia 38 tahun bersiap-siap menerbangkan pesawat yang dikemudikannya. Setelah transit di Palembang, pesawat DC-9 Garuda “Woyla” bernomor penerbangan 206 rute Jakarta-Medan itu akan menuju Bandara Polonia.
Beberapa menit setelah lepas landas, terdengar kegaduhan dari arah belakang. Lima laki-laki telah menguasai pesawat bagian tengah. Seorang dari komplotan itu menuju kokpit. Pistol jenis revolver cal 38 ditodongkan ke kepala Herman Rante. Herman Rante menyadari pesawat yang dikemudikannya sedang dibajak.
Secara sembunyi-sembunyi, Herman Rante sempat mengirim sinyal kepada pesawat terdekat. Beruntung, sinyal itu ditangkap oleh Kapten A. Sapari, pesawat Garuda F -28 yang baru terbang dari Pekan Baru. “Dan ketika kedua pilot itu berhubungan, Sapari mendengar suara Herman yang gugup. Herman berbicara, “Being hijacked . . . being hijacked . . .,” (“Dibajak…dibajak”-red) dilansir Tempo, 4-11 April 1981.
Baca Juga:Penyanyi Dangdut Jebolan D’Academy 2 Ditangkap Polisi karena SabuLemkapi Kecam Pernyataan Veronica Koman di Stasiun TV Australia
Dari kontak itu, berita pembajakan Garuda 206 “Woyla” mencuat hingga Jakarta. Saat itu hampir seluruh petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sedang mengikut Rapimnas tahunan di Ambon, kecuali Pangkopkamtib, Laksamana Soedomo. Mendengar berita dari Soedomo, Menteri Pertahanan Jendral M. Jusuf meminta Asisten Intelijen Hankam merangkap Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Letnan Jendral Benny Murdani untuk kembali ke Jakarta.
Reaksi Soeharto
Di Jalan Cendana, Jakarta, Benny Murdani bersama Soedomo melapor kepada Presiden Soeharto. Benny memohon izin untuk melaksanakan opsi militer. Julius Pour dalam Benny Murdani: Profil Prajurit Negarawan, mengutip percakapan antara Benny Murdani dan Soeharto kala itu.
“Kamu sudah perkirakan, kemungkinan berhasilnya,” tanya Soeharto
“Fifty-fifty, Pak,” jawab Benny
“Laksanaken,” Presiden Soeharto merestui.
Benny Murdani segera menunjuk Letnan Kolonel Sintong Panjaitan menjadi komandan operasi. Sintong merupakan komandan Grup IV/Sandiyudha, Kopassandha (sekarang Kopassus).
Operasi Antiteror
Sementara itu, pesawat yang tadinya menuju Medan, dialihkan rutenya menuju Thailand. Di Bandara Don Muang, Bangkok, 42 penumpang yang disandera mendapat intimidasi. Pendingin ruangan dalam pesawat dimatikan. Akibatnya, banyak penumpang kepanasan dan menjadi lemas. Tiap perlawanan atau gerakan mencurigakan dari sandera pria tak jarang dibalas tempelengan dari pembajak, seraya mengancam akan meledakan pesawat dengan granat. Menurut Kompas, 3 April 1981, selain pistol dan senjata tajam, pembajak juga membawa alat peledak berupa dua stick dinamit, sebuah TNT ukuran 5x5x7, sebuah granat, dan satu detonator.