Menurut Ismail, banyaknya netizen yang tak mengetahui kondisi Wamena secara langsung namun di sisi lain merasa tersentuh dan peduli bisa jadi alasan mengapa postingan bertopik Wamena di-retweet.
“Nah dari sedikit (kemudian) di-retweet banyak makanya interaksinya sangat tinggi,” ujarnya ketika dihubungi ABC.
Kebalikannya, lanjut Ismail, topik dengan interaksi rendah memiliki agenda untuk mengangkat kampanye tanda pagarnya agar melambung tinggi.
Baca Juga:Blak-blakan, Pengakuan Ahmad Muzani Soal Komunikasi Prabowo dan MegawatiBamsoet Resmi Ketua MPR!
“Jadi itu lebih seperti propaganda, mengandung bot, mengandung program atau mungkin menggerakkan orang ramai-ramai. Jadi sengaja mereka,” sebutnya.
Septiadji Eko Nugroho dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengatakan informasi terverifikasi tentang isu Papua sangatlah terbatas, sehingga diskusi yang beredar sejauh ini lebih banyak membicarakan asumsi.
“Tetapi memang seperti isu yang di Wamena itu, itu kan memang ada pantikan ya, ada salah kata yang diterima kemudian memantik sebuah demo yang kemudian juga berujung kekerasan.”
“Itu sebenarnya potensi semacam itu juga sempat terjadi di daerah lain tidak hanya di Papua, karena memang isunya kalau saat ini adalah isu ketika literasi digital masyarakat itu masih rendah kemudian juga adanya polarisasi masyarakat yang terjadi akibat isu politik ya,” jelasnya kepada ABC. (ABC)