Seperti halnya rezim Suhartro, studi CIA itu gagal untuk menghasilkan suatu penjelasan yang mungkin terjadi mengenai tujuan-tujuan para pencetus kup yang dimaksudkan itu; penjelasannya memang secara tak disadari meruntuhkan kasus anti-komunis yang menurut imajinasinya sedang disusunnya itu.
Ambillah misalnya soal mengapa PKI ujung-ujungnya kok menempuh kekerasan. Dalam situasi dimana Indonesia sedang meluncur lancar kearah kiri, dengan Sukarno dan PKI dalam posisi memim-pin, saatnya tampak dekat sekali dimana kaum Komunis akan mengambil alih negeri – bisa terjadi dengan meninggalnya Sukarno, atau bahkan sebelum itu. Kebanyakan peninjau di Barat mengakui ini.
Orang-orang Indonesia tampaknya pasrah. Tentu saja, PKI punya alasan kuat mempercayainya.
Baca Juga:YPKP Temukan 346 Kuburan Massal Korban Tragedi 1965, Bedjo Untung: Temuan Diserahkan ke Komnas HAMBelum Lihat Barbuk Bom Molotov, Pengacara Dosen IPB Sebut Dalang Demo Rusuh Adalah Orang ‘Terpandang’
Pada tanggal 12 Oktober 1964 [Aidit]menjawab serentetam pertanyaan mengenai PKI dan revolusi Indonesia dengan suatu klaim yang tak pernah terjadi sebelumnya bahwa “Diantara partai-partai Komunis di dunia PKI adalah satu-satunya partai yang paling punya otoritas untuk bicara mengenai ‘peralihan secara damai’ ke sosialisme, karena PKI ambil bagian dalam pemerintahan baik di pusat maupun lokal dan punya potensi nyata untuk melaksanakan politiknya.” [Halaman 168-170].
Ataukah suatu faktor yang tak terduga -seperti keadaan sakitnya presiden karisma-tik Indonesia, Sukarno, penyokong PKI- mendorong para pemimpin Komunis untuk melakukan komplot kup?
Laporan CIA mengedepankan kemung-kinan ini kemudian meninggalkannya mengingat keadaan segar-bugar Sukarno dan kenyataan bahwa “tidaklah mungkin bahwa partai(PKI) akan bergerak karena asumsi bahwa Sukarno bagaimanapun akan mati”. (halaman 260)
Suatu alasan kedua yang mungkin bagi PKI untuk beralih ke kekerasan ialah, bahwa partai khawatir suatu perebutan kekuasaan oleh pimpinan tentara, oponen utama PKI. Para perwira muda yang akutil membunuh para jendral, bukankah, mengumumkan bahwa mereka “melindungi” Sukarno dari suatu kup yang akan segera dilancarkan oleh Dewan Jendral yang diukung oleh CIA. Tetapi bila suatu kup tentara akan segera terjadi, mengapa Aidit – yang secara politik dekat dengan Sukarno, dan selalu berhubungan dekat dengannya (halaman 234-5) tidak memberikan sinyal-bahaya kepada Presiden mengenai bahaya yang mengancam mereka berdua, terbanding mengambil tindakan sendiri? Dan bila Sukarno tidak melibatkan dirinya dalam kup (studi CIA berspekulasi bahwa mungkin ia terlibat), mengapa ia bertindak demikian, dalam suatu cara yang tidak menggunakan apapaun dari otoritasnya yang legitim dalam jabatannya, atau dukungan popula-ritasnya yang begitu besar dan yang tak bisa tidak mempersatukan opini dalam tentara menentangnya?