Kenyataannya, studi CIA itu sangat spesifik mengenai ketiadaan kekerasan yang dipicu oleh kaum Komunis. Dalam komentarnya mengenai kegiatan PKI ketua Aidit di Jawa Tengah segera setelah terjadi kup, CIA mencatat bahwa ia (Aidit) memperingatkan orang-orang bawahannya:
Apapun yan terjadi tidak mengizinkan PKI diprovokasi melakukan tindakan kekerasan demikian dinyatakannya kepada orang-orang yang berkumpul mendengarkannya bahwa tidak boleh ada demonstrasi mendukung kup. Suatu kehe-ningan yang tegang dan siaga terasa dimana-mana, tetapi tidak ada tanda-tanda kegiatan PKI dimanapun (Halaman 77-79)
Di Sumatra, demikian laporan CIA menyatakan, kaum komunis “tidak pernah menantang tentara dalam kekerasan besenjata apapun yang ternyata adalah penuturan tentang PKI menyerah pada tentara di seluruh Indonesia sesudah kup”. (halaman 63).
Baca Juga:YPKP Temukan 346 Kuburan Massal Korban Tragedi 1965, Bedjo Untung: Temuan Diserahkan ke Komnas HAMBelum Lihat Barbuk Bom Molotov, Pengacara Dosen IPB Sebut Dalang Demo Rusuh Adalah Orang ‘Terpandang’
Kenyataannya, berlawanan dengan klaim Tuan Galbraith, studi CIA itu berulang-kali, secara tidak berhati-hati mengungkap tentang ketidak-mungkinan (the implausibilities) terjadinya hal itu dalam versi resmi tentang kup dalam versi pemerintah Suharto. Satu hal, terdapat problim mengenai sumber-sumber. Penguasa militer Indonesia telah menyebarkan ribuan halaman “bahan-bahan” mengenai kup, sedikit sekali yang bisa dipercaya dan tidak ada yang tanpa purbasangka. Studi CIA itu semua-nya menggunakan dan menambahkan bahan koleksi yang dubius ini.
Umpamanya, bahan itu mengutip “statement-statement” oleh para pemimpin tinggi komunis Nyono dan Sakirman sebgai bukti bahwa rapat-rapat Politbiro PKI yang dikatakan memutuskan untuk melancarkan kup itu (halaman 225-227). Bahwa ‘pernyataan’ Nyono itu bertentangan sekali dengan kenyataan yang jelas-jelas tentang gerak-gerik Aidit, dan bahwa “pernyataan” -nya itu bersumber dari suatu “pengakuan”, begitu tidak masuk akalnya sehingga itu harus digantikan dalam jangka waktu beberapa jam saja, oleh suatu versi yang sudah “disempurnakan” dibiarkan saja berlalu tanpa disebut-sebut lagi.
(Catatan Ben dan Ruth: Mengenai hal ini, lihat A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indoneisia Ithaca, Cornel Modern Indonesia Project, 1971, halaman 157-162).
Studi itu mengemukakan bahwa “statement” Sakirman dinyatakan di pengadilan; bila betul begitu, maka itu dilakukan secara posthumus, karena penguasa militer Indonesia menyatakan bahwa ia (Sakirman) sudah ditembak mati “ketika mencoba untuk melarikan diri” segera sesudah ia ditangkap.