“Secara fundamental kita dapat katakan bahwa Aidit adalah aktor yang dengan sadar merancang gerakan sedangkan pengaruh Beijing pada dasarnya sangatlah terbatas,” kata Taomo.
Menurut Taomo keterlibatan rezim Mao pada prahara paling berdarah dalam sejarah Indonesia tidak signifikan. Ketika bertemu dengan Mao, Aiditlah yang menerangkan rencana gerakan merebut kekuasaan. Mao sendiri terkejut saat mendengar gerakan tersebut akhirnya dilancarkan. Berdasarkan bukti itu, Taomo dalam penelitiannya menggugurkan mitos yang tersebar luas di mana Mao digambarkan sebagai “arsitek G30S”. Kendati demikian, dampaknya cukup berimbas besar terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Propaganda pemerintah Soeharto yang mengidentifikasi etnik Tionghoa dengan komunisme telah membuat komunitas minoritas itu rawan terhadap kekerasan dan pengusiran selama berlangsungnya pembunuhan massal pada 1965-1966. Akibatnya, lebih dari 160 ribu orang Tionghoa terpaksa meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri leluhurnya. Dan selama tiga dasawarsa berkuasa, rezim Orde Baru menerbitkan sejumlah peraturan yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Misalnya, orang Tionghoa peranakan harus mendapat surat kewarganegaraan dengan tanda khusus, sedangkan pendidikan berbasis bahasa Tionghoa dilarang sama sekali.
Baca Juga:RUU Pesantren 2019 yang Sempat Dikritik Muhammadiyah, Ini Isi Lengkap UU PesantrenKerusuhan Wamena Telan Korban 33 Meninggal Dunia, Gubernur Papua Mohon Maaf
“Tuduhan Orde Baru bahwa Tiongkok itu terlibat di dalam G30S tentunya menjadi sangat lemah,” ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam yang menjadi pembedah buku. Pendapat Asvi ini bersandar pada informasi yang disampaikan Aidit kepada Mao dua bulan sebelum G30S. Dan juga mengenai pasokan senjata yang dipersiapkan untuk Angkatan Kelima tidak kunjung sampai ke Indonesia.
“Kalau Aidit hanya sekedar menyatakan akan melakukan suatu tindakan atau gerakan tentunya informasi itu adalah sangat umum. Coba kita bandingkan dengan apa yang disampaikan Kolonel Latief kepada Soeharto selang beberapa jam sebelum peristiwa itu terjadi,” kata Asvi. Kendati demikian menurut Asvi, penelitian Taomo berhasil membuat rekonstruksi sejarah yang mengungkapkan beberapa hal yang baru mengenai dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok.
Sementara itu menurut pakar politik internasional, Dewi Fortuna Anwar, meski tidak terlibat langsung mengorkestrasi G30S, bukan berarti Mao tidak mendukung upaya PKI untuk suatu saat merebut kekuasaan. Apakah itu melalui jalan partai ataupun melalui jalan revolusioner. Bahwa ada fakta senjata untuk Angkatan Kelima belum dikirim, tentunya itu bukan berarti senjata-senjata itu tidak dipesan.