Berbagai dokumen yang telah dicabut status kerahasiaannya mengungkapkan bahwa pada hakikatnya adalah Amerika Serikat bukan Australia, yang akhirnya mendorong (memaksa?) Indonesia agar menerima masuknya Pasukan Pemelihara Perdamaian ke Timor Timur dan menegakkan hasil referendum yang sangat memilukan Indonesia itu.
Dalam tulisannya di koran bahasa Inggris The Jakarta Post, edisi Kamis, 29 Agustus 2019, Kornelius Purba, mengingatkan kembali bahwa TNI (khusus jajaran terkaitnya seperti badan intelijen), berkeyakinan bahwa rakyat TimTim niscaya akan memilih untuk tetap dalam haribaan NKRI. Nyatanya 78,5 persen rakyat TimTim memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Dalam ratusan, mungkin bahkan ribuan halaman pesan-pesan (diplomatik), laporan-laporan intelijen dan dokumen-dokumen lain yang diterbitkan pekan ini oleh Arsip Direktorat Keamanan Nasional Amerika menjelang ulang tahun ke-20 referandum di TimTim itu, tidak ada disebutkan bahwa Australia secara sungguh-sungguh menekan Amerika agar mengambil langkah untuk melindungi rakyat TimTim meski kekerasan kian menggila dan ada petunjuk-petunjuk bahwa TNI (waktu itu) mendukung bahkan bahu membahu dengan kelompok-kelompok milisi.
Baca Juga:Tas Dilempar Depan Hotel, Isinya…Terkait Barracuda Tabrak Mahasiswa, Polisi: Tidak Ada Unsur Kesengajaan
Dan dokumen-dokumen dari arsip Amerika itu menunjukkan, pada hakikatnya adalah Amerika yang mampu mendesak Indonesia “agar menarik diri dari tepi jurang malapetaka” dan mengizinkan pasukan pemelihara keamanan dari berbagai negara masuk ke TimTim, di tengah-tengah kegaduhan berupa keonaran yang berkelanjutan dengan semena-mena.
Salah satu laporan Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA) yang diungkapkan dalam dokumen-dokumen yang telah dicabut status kerahasiaannya itu menyebutkan bahwa luas diketahui bahwa TNI mendukung kelompok milisi yang melakukan keonaran, termasuk pembunuhan.
Ini sangat berseberangan dengan komentar Menteri Luar Negeri Australia (waktu itu) Alexander Downer yang sepanjang tahun 1999 terus mengecil-ngecilkan peranan TNI dan menyatakan “hanya oknum-oknum” TNI yang bertanggung jawab atas keonaran di TimTim.
Sementara itu, Profesor Clinton Fernandes dari Universitas New South Wales, dalam tahun 1999 adalah analis utama intelijen untuk TimTim. Menurut laporan ABC, Prof. Fernandes mengatakan, pada waktu kejadian di TimTim itu, Australia pada hakikatnya bersikap “menutup-nutupi secara diplomatis” kegiatan TNI.
Katanya, begitu ABC melaporkan, “(Perdana Menteri) John Howard dan Menlu Alexander Downer sangat bersusah payah untuk membebaskanTNI dari segala tudingan”.