Itulah kidung penolak bala yang sering dinyanyikan Eyang, khususnya setiap malam Jumat Kliwon di pendopo Solo. Atau sambil menggendong anak-anaknya dan kemudian cucu-cucunya yang rewel. Rupanya saat terdesak, maka dari dalam batin manusia mencuatlah ritual paling awal dan paling akrab, menutupi yang datang kemudian. Dengan keheranan, aku pandangi Ibu yang berdoa campur aduk itu, “Lho, Bu ?”
Ibu menukas, “Mbok wis ben tha! Dongane iki ben lengkap” (Sudah, biar aja! Doa ini biar lengkap).
Aku tak membantah dan menghindari debat teologis yang tak perlu.
Sampai itu, ketukan itu makin keras dan makin sering. Terpengaruh Ibu, aku juga menggumamkan sepenggal mantera Rajah Kalacakra yang pernah kubaca dari Primbon Betal Jemur milik Eyang: “Aum, Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya; Yasilapa-Palasiya” (Aum, siapa yang akan membuat bahaya, hilang kekuatannya; siapa yang akan membuat celaka, hilang niat buruknya; siapa yang akan membuat kelaparan, malah memberi makanan).
Baca Juga:Kajian Bappenas Dangkal, Anggota Pansus Pemindahan Ibu Kota: Pak Jokowi Semestinya Tidak Buru-buru Umumkan Lokasi IKNMantan KaBais Minta Pemerintah Lakukan Operasi Intelijen Tangkap Penunggang Gelap
Rajah Kalacakra atau Sastra Bedhati itu dibaca dalang saat upacara ruwatan. Doa itu panjang, aku tidak ingat semua. Pintu lalu kubuka sedikit, ini juga kesalahan besar. Di antara sinar lampu 15 watt, aku melihat sesosok orang berbadan kekar berotot berkulit legam, tanpa baju, dan bercelana kolor hitam.
Di antara bunyi doa campur baur, Ibu bertanya dari belakangku: “Sapa kuwi?” (Siapa itu?).
Ketukan berhenti dan terdengar suara berat: “Kulaaa Bu Kompi” (Saya, Bu Kompi).
Ibu berhenti merapal doa. Tubuhnya lemas lalu duduk di bangku kayu di dapur, tapi wajahnya tampak lega. Puas, karena doa lengkapnya manjur. Aku membuka pintu dan melihat sosok hitam legam tanpa baju itu: The Great Rasbi!
Tangan kanannya menggenggam parang tajam dan tangan kirinya menenteng seikat ikan: gabus, sepat, bethik dll. Sambil tertawa lebar dia berkata, “Kula nembe ngoncor, Bu Kompi, niki iwake kangge Ibu”(Saya baru ngoncor, Bu Kompi. Ini ikannya untuk Ibu).