Di Pekalongan, kabarnya, puluhan mayat terapung di laut sehingga banyak ikan laut tidak laku dijual karena ada cerita orang menemukan jari tangan di perut ikan besar. Semua ini kabar yang kudengar dari jalanan dan di sekolah. Di samping “warta berita” dari warung es itu, guru-guru kami juga menjadi sumber berita. Anak-anak sudah tidak peduli dengan pelajaran sekolah lagi, tetapi asyik mendengarkan cerita Pak Asyik.
Kabar-kabar itu kuceritakan ke Ibu yang berusaha tampak tenang tapi sebenarnya amat ketakutan. Ibu makin ketat mengatur anak-anak terutama di sore hari. Mulai saat itu aku hanya boleh mengaji sampai Isya di surau. Jika kami dulu boleh main ke asrama (rumah komandan di luar asrama) sampai setelah Isya, sekarang hanya dibatasi sampai habis Mahghrib.
Di sore hari, kami lebih banyak berkerumun dekat radio. Suatu kali, Ibu bercerita tentang keganasan peristiwa Madiun tahun 1948. Seorang paman Ibu, administrator pabrik gula di Gorang-Gareng, Madiun, dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam sumur oleh PKI. Ibu dan Bulik Diati yang kebetulan berlibur di perkebunan itu hampir menjadi korban jika pasukan Siliwangi tidak keburu datang menyelamatkan.
Baca Juga:Kajian Bappenas Dangkal, Anggota Pansus Pemindahan Ibu Kota: Pak Jokowi Semestinya Tidak Buru-buru Umumkan Lokasi IKNMantan KaBais Minta Pemerintah Lakukan Operasi Intelijen Tangkap Penunggang Gelap
Komandan tentara penjaga menganjurkan agar kami pindah ke dalam kompleks asrama, tetapi Ibu menolak. Rumah komandan memang di luar kompleks. Kami cukup aman. Di samping tentara jaga, beberapa peronda dari kampung juga menyambangi rumah-rumah warga termasuk rumah kami yang hampir menyatu dengan kampung. Serma Hadi dari Babinsa, sahabat Ayah, juga selalu berkeliling tiap malam.
Batalyon Infantri 407 di Wonopringgo. Keluarga penulis tinggal di asrama ini antara 1965-1966. Himpitan ekonomi makin mencekik dan tentara bingung oleh situasi politik. Foto dok: Rusdian Lubis
Suatu malam sekitar jam 11, terdengar bunyi ketukan yang cukup keras di pintu belakang dekat dapur atau “pintu butulan” yang menghadap ke pagar kawat berduri. Di seberang pagar itu terhampar sawah luas diapit dua sungai kecil yang dibatasi sebuah lembah. Kali Duwur di sebelah atas dan Kali Ngisor di sebelah bawah.