Tanggal 30 September 1965, Ibu Pertiwi akhirnya melahirkan, tetapi bukan bayi montok yang lucu. Peristiwa G30S/PKI meletus di Jakarta! Sehari kemudian aku dengar berita RRI Jakarta: Pengumuman tentang Dewan Jenderal, berita tentang pemberontakan PKI, penculikan tujuh jenderal dan dibunuh di Lubang Buaya, disusul pengumuman-pengumuman lain yang amat membingungkan.
Kami juga dengar berita dari RRI Yogyakarta: PKI melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono. Semua berita menyeramkan itu aku dengar dari radio transistor Ayah merk Phillips warna biru.
Sejak itu suasana Wonopringgo menjadi amat menakutkan. Tahun-tahun yang gelap dimulai. Aku selalu ikuti kabar nasional melalui RRI dan dari koran Berita Yudha yang tiap hari diantar petugas piket ke rumah. Kabar lokal kudapat melalui “kelompok diskusi” di warung es dekat rumah Pak Guru Casbani.
Baca Juga:Kajian Bappenas Dangkal, Anggota Pansus Pemindahan Ibu Kota: Pak Jokowi Semestinya Tidak Buru-buru Umumkan Lokasi IKNMantan KaBais Minta Pemerintah Lakukan Operasi Intelijen Tangkap Penunggang Gelap
Di warung itu berkumpul tokoh–tokoh informal Wonopringgo, kebanyakan dari NU dan PNI. Golongan hitam seperti Yitno, si Gemuk dan si Kurus kadang-kadang ikut bergabung; Serma Hadi juga sekali-sekali mampir ke warung es itu. Sebagai anak kecil aku tidak ikut diskusi, cuma nguping kabar tentang bentrokan antara massa PKI dan massa Islam di desa-desa sekitar Wonopringgo. Kemudian berita pembunuhan oleh PKI kepada anggota PNI dan NU dan pembalasan dendam oleh NU dan PNI kepada anggota PKI.
Kabarnya, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi paramiliter seperti barisan Ansor NU dan Banra PNI melakukan pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mayat-mayat dibuang di Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas.
Saat itu terjadi “histeria massa” yang tak terkendali, pilihannya hanya membunuh atau dibunuh. Rasa takut atau dendam bisa membuat manusia menjadi amat kejam. Mereka berbunuhan dengan segala alasan: Perselisihan pribadi, karena hutang tak terbayar, masalah sengketa tanah, cinta ditolak atau karena punya “indikasi terlibat” G30S/PKI. “Indikasi” menjadi kata yang menakutkan.
Di Wonopringgo, suatu hari ada kejadian mayat terapung di bendungan Kali Kletak. Lain hari di Kali Krempyeng tempat anak-anak kolong Yonif 407 biasa memancing. Aku tidak melihat mayat itu dengan mata kepalaku, hanya melihat segerombolan orang berkerumun di pinggir kali. Ibu melarangku melihat mayat dan pembunuhan.