“Dengan izin dan dorongan pemerintah Jepang itulah maka tercipta persepsi di kalangan rakyat bahwa mereka memperoleh kembali tanah mereka yang dulu melalui rekayasa hukum dirampas oleh Belanda,” tulis Gunawan Wiradi dalam Seluk Beluk Malasah Agraria. Toh, pemberontakan petani tetap terjadi seperti di Indramayu pada 1944, karena rakyat tak sanggup menanggung penindasan.
Setelah kemerdekaan, penggarapan tanah perkebunan oleh rakyat berlanjut. “Pemerintah Indonesia meneruskan sikap toleran Jepang dengan membiarkan rakyat menduduki tanah, sambil menunggu payung hukum agraria nasional terbentuk,” tulis Ahmad Nashih Luthfi dalam Melacak Sejarah Pemikiran Agraria.
Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 13 tahun 1946 untuk menghapus desa-desa perdikan, yang bebas pajak, di mana elite-elitenya menguasai sebagian besar tanah di desa-desa. Pemerintah juga mengeluarkan UU No 13 tahun 1948 untuk mengambil-alih semua tanah 40 perusahaan gula Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.
Baca Juga:Sultan Kasepuhan Dilaporkan ke Polda Jabar, Ada Apa Ya?Kabar Duka: 15 Tahun Mengabdi di Pedalaman Papua, dr Soeko Marsetiyo Diadang Massa di Wamena, Meninggal Dunia
Celakanya, hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) menjungkirbalikkan kebijakan reformasi agraria tersebut. Salah satu syarat pengakuan kedaulatan Indonesia antara lain aset milik Belanda harus dikembalikan dan dijamin. Deli Planters Vereniging, asosiasi pengusaha tembakau, ingin menguasainya kembali sesuai kesepakatan KMB. Pada 1953, petani miskin di Deli, Sumatra Utara, melakukan perlawanan: 21 orang tertembak, enam di antaranya tewas dalam peristiwa yang kelak dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Morawa.
Peristiwa itu mendapat sorotan dari media maupun parlemen. Partai Komunis Indonesia (PKI) mencemooh menteri dalam negeri Mohamad Roem dengan sebutan “Mohamad Roem Traktor Maut”. Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak percaya, yang mendapat dukungan dari Partai Nasional Indonesia. Perdana Menteri Wilopo akhirnya menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Penyair Agam Wispi yang menyaksikan para petani digusur dengan traktor dan bedil, mengabadikannya dalam puisi “Matinya Seorang Petani”: Depan kantor bupati/tersungkur seorang petani/karena tanah/karena tanah. (*)