TANAH selalu jadi api dalam sekam. Sengketa tanah pun tak henti mewarnai sejarah Indonesia. Kali ini, para petani Jambi dan Suku Anak Dalam sudah sebulan berkemah di lahan kosong depan kantor Kementerian Kehutanan. Bahkan sejumlah petani melakukan long march sejauh 1.000 kilometer dari Jambi menuju Istana Negara Jakarta. Mereka menuntut lahan dan hutan mereka, yang terkikis akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Konflik agraria tersebut membuktikan apa yang dikatakan Mochammad Tauhid, tokoh penting dalam pemikiran agraria di Indonesia: “Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.”
Konflik agraria sudah terjadi sejak zaman kolonial. “Kasus sengketa tanah terjadi karena adanya pemberian hak oleh pemerintah,” kata Mohammad Iskandar, pengajar di program studi ilmu sejarah Universitas Indonesia.
Baca Juga:Sultan Kasepuhan Dilaporkan ke Polda Jabar, Ada Apa Ya?Kabar Duka: 15 Tahun Mengabdi di Pedalaman Papua, dr Soeko Marsetiyo Diadang Massa di Wamena, Meninggal Dunia
Pada 1870 pemerintah kolonial memberlakukan Undang-undang (UU) Agraria (Agrarisch Wet) yang memberikan hak erfpacht –sekarang Hak Guna Usaha– kepada para pemodal asing untuk mengusahakan perkebunan.
“Tanah menjadi sumber konflik karena tanah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan penduduk pribumi dijadikan buruh,” ujar Idham Arsyad, sekretaris jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria.
Hak erfpacht menggusur tanah pertanian rakyat karena asas domein verklaring, bahwa tanah yang tak bisa dibuktikan milik seseorang dianggap milik negara, dan negara melemparkan hak pengelolaan kepada para pengusaha. “Orang pribumi tidak bisa bersaing dengan orang kaya Eropa yang mampu membeli banyak tanah,” kata Iskandar.
Para petani kemudian melakukan perlawanan; seringkali dibalut fanatisme keagamaan. Antara lain peristiwa Cikandi Udik (1845), kasus Bekasi (1868), kasus Amat Ngisa (1871), pemberontakan Cilegon (1888), kerusuhan Ciomas (1886), pemberontakan Gedangan (1904), pemberontakan Dermajaya (1907), peristiwa Langen di Banjar, Ciamis (1905), peristiwa Cisarua dan Koja, Plered (1913-1914), dan peristiwa Rawa Lakbok, Ciamis (1930).
Ketika Belanda ditaklukkan Jepang, banyak perkebunan besar milik perusahaan Belanda dan asing ditinggalkan dan terlantar. Militer Jepang mendorong rakyat untuk mengolah dan menanaminya dengan bahan kebutuhan perang seperti jarak dan sereh wangi.