PADA 209 SM, Chen Sheng, petani asal Yangcheng, memimpin 900 orang untuk melakukan kerja paksa pembangunan megaproyek Kaisar Qin. Tujuan mereka, kota Yuyang, masih jauh. Mereka harus bergegas. Sebab, menurut hukum Dinasti Qin/Chin (221-206 SM), siapapun yang telat akan dihukum mati.
Nahas, baru sampai di desa Dazexiang, hujan deras turun selama beberapa hari. Banjir memaksa mereka berkemah dan menghentikan perjalanan. Mereka gelisah.
Dalam kegelisahan itu, Chen Seng bertemu dengan Wu Guang, yang juga mengawasi dan memimpin 900 orang untuk kerjapaksa. Kesamaan nasib membuat mereka menjadi akrab.
Baca Juga:Cita-Cita Jokowi Angkat Derajat Petani Jauh Panggang dari ApiHari Ini, DPR Gelar Paripurna Putuskan Nasib 6 RUU, Apa Saja?
“Kita masih beribu-ribu li jauhnya dari Yuyang. Apakah kita akan membiarkan diri kita dibunuh?” ujar Chen, dikutip Lin Handa dan Cao Yuzhang dalam Kisah-Kisah dari 5000 Tahun Sejarah China, Jilid 1.
Wu mengajak Chen kabur, namun Chen tak menyetujuinya. Ketimbang kabur, Chen memilih memberontak terhadap penguasa lalim. Memberontak baginya lebih terhormat, meski risikonya juga hukuman mati. Wu setuju.
Kaisar Qin berupaya mewujudkan mimpinya membangun banyak bangunan, seperti Istana Efang dan Tembok Raksasa. Untuk itu, kaisar merekrut para petani, termasuk dari enam kerajaan terakhir yang ditaklukkan, melalui sistem perpajakan terpusat yang dia buat.
“Jumlah petani yang diambil Qin Shi Huangdi untuk membangun Istana Efang dan Tembok Raksasa dan yang direkrut sebagai tentara untuk pertahanan perbatasan melebihi dua juta jiwa,” tulis Xiaobing Li dalam China At War: An Encyclopedia.
Kesewenang-wenangan kaisar menimbulkan kebencian di hati petani dan rakyat kebanyakan, termasuk Chen.
Chen dan Wu segera menyusun siasat. Yang paling awal, dia memanfaatkan takhayul. Di atas sehelai sutra putih, Chen menuliskan “Chen Sheng adalah raja.” Kain itu lalu dimasukkan ke perut ikan yang selanjutnya dijual. Kebetulan, pembelinya adalah beberapa prajurit di kesatuan yang dipimpinnya. Mereka terheran-heran. Siasat kedua, dalam kegelapan malam, Wu mengendap ke kuil di sekitar perkemahan. Sembari menirukan lolongan serigala, Wu berteriak mengatakan: Chu Raya bangkit dan Chen Sheng adalah raja.
Keesokan harinya, Chen menjadi buah bibir di antara rombongan. Namun, siasat itu masih belum cukup menginformasikan mayoritas akan rencana gerakan Chen. Setelah membunuh pejabat pengawas, Chen berorasi di hadapan rombongannya mengenai rencana pemberontakan.