Jumlahnya sempat menurun pada 2015 menjadi 400,43 ribu ha, namun kemudian meningkat drastis menjadi 1,26 juta ha pada 2016. Sementara luasan lahan konflik agraria mencapai 520,49 ribu ha pada 2017 dan 807,17 ribu ha pada 2018.
“Konflik agraria masih ada, dan cenderung bertambah dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur. Hal ini karena terjadi ganti rugi yang tak sebanding,” terang dia.
Memang, Pemerintahan Jokowi juga sudah merealisasikan program bagi-bagi sertifikasi lahan untuk mendukung pemilikan tanah bagi para petani kecil. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang sekaligus Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat, pemerintah memberikan 967.490 sertifikat pada 2015 dan 1.168.095 sertifikat pada 2016.
Baca Juga:Hari Ini, DPR Gelar Paripurna Putuskan Nasib 6 RUU, Apa Saja?Anggota Raider 751 Gugur Amankan Aksi di Expo Waena, Praka Zulkifli Pembebas Sandera OPM
Kemudian, meningkat menjadi 5,4 juta pada 2017 dan 9,4 juta pada 2018. Tahun ini, pemerintah menargetkan bisa menebar 9 juta sertifikat lahan kepada masyarakat.
Lalu, pemerintah juga menggagas program perhutani sosial dengan target masa konsesi mencapai 12,7 juta ha. Namun, realisasinya baru mencapai 2,6 juta ha yang dibagikan. Sayangnya, realisasi ini lagi-lagi hanya menjadi pemanis lantaran akar masalah reforma agraria tetap belum mampu diselesaikan oleh Jokowi.
Tak ketinggalan, ia melihat tidak ada peran dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membantu kalangan petani. Hal ini tercermin dari sikap para lembaga legislatif yang seakan tidak peduli dengan kaum petani dengan mempermulus jalan sejumlah aturan yang secara jelas bakal merugikan petani.
Salah satunya, terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Menurutnya, RUU itu justru membuat negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan setiap warga negara Indonesia
“Berbulan-bulan kami bersama serikat-serikat petani dan organisasi masyarakat adat telah menyampaikan masukan dan usulan pembatalan rencana pengesahan RUU Pertanahan. Tapi kami tidak didengar,” kata Dewi.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memandang program Reforma Agraria yang dijalankan pemerintah dalam lima tahun terakhir memang punya nilai plus dan minus. Dari sisi positif, program bagi-bagi sertifikat setidaknya memberikan kepastian kepada petani.
Meskipun, memang belum sepenuhnya diimbangi dengan penanganan yang baik terhadap konflik agraria yang ada. Apalagi, sertifikasi itu sendiri bertujuan untuk meminimalisir terjadinya konflik.