Cita-cita Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengangkat derajat para petani lewat redistribusi lahan 9 juta hektare (ha) masih jauh panggang dari api.
Buktinya, sampai hari ini, bertepatan dengan peringatan ke-59, Jokowi yang memulai kepemimpinan pada 2014, cuma janji memberikan berbagai kebijakan yang bisa menguatkan pembangunan di sektor pertanian dan kesejahteraan kaum petani.
Yang teranyar, program reforma agraria diwujudkan dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dasar hukum ini mengatur subjek penerima lahan agraria dengan tujuan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Baca Juga:Hari Ini, DPR Gelar Paripurna Putuskan Nasib 6 RUU, Apa Saja?Anggota Raider 751 Gugur Amankan Aksi di Expo Waena, Praka Zulkifli Pembebas Sandera OPM
Namun, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi masyarakat nirlaba, Jokowi tak juga berhasil menjalankan janji Reforma Agraria. Tidak sedikit pun.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan hal ini tercermin dari janji redistribusi lahan seluas 9 juta ha yang tak kunjung diterima oleh petani. Padahal, luasan lahan itu menjadi pokok utama program Reforma Agraria ala Jokowi.
“Pemerintah tetap mempertontonkan kekeliruan reforma agraria dengan membiarkan krisis agraria dialami kaum tani Indonesia dan tidak diatasi dengan serius,” ucap Dewi, Senin (23/9).
Begitu juga dengan penyelesaian konflik agraria dan perbaikan ekonomi, serta produksi pertanian yang tak kunjung diterima petani. Bahkan, di sejumlah tempat, banyak lahan petani, wilayah adat, kampung nelayan, tanah garapan buruh tani, hingga masyarakat miskin kaum pertanian yang diambil alih secara paksa dan sepihak.
Pengambilalihan, sambung dia, dilakukan oleh kalangan pemerintah dan perusahaan yang melegitimasi oleh keputusan pemerintah. Berdasarkan data KPA pada akhir 2017, sekitar 71 persen luasan lahan di Indonesia di antaranya dikuasai korporasi kehutanan.
Kemudian, 16 persen selanjutnya dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar dan tujuh persen dalam genggaman para konglomerat. Sisanya, kurang dari enam persen dipegang oleh petani kecil yang tersebar di seluruh Tanah Air.
“Pengambilalihan tetap menggunakan cara-cara lama, yaitu melibatkan tentara, dan polisi untuk merepresi dan menggusur tanah masyarakat dengan mengatasnamakan pembangunan proyek strategis nasional,” imbuh Dewi.
Baca Juga:Terungkap, Penyebab Kecelakaan Lion Air Boeing 737 Max JT 610 di Laut JawaDiduga Donatur Jaringan Teroris, Otoritas Singapura Tahan 3 Wanita asal Indonesia
Lebih lanjut, pengambilalihan lahan pertanian memunculkan konflik agraria yang kerap merugikan masyarakat tani. Data KPA mencatat luas lahan konflik agraria tembus 2,86 juta ha pada 2014.