CIREBON-Perekonomian secara global masih serba tidak pasti. Ini karena pedang dagang Amerika dengan Tiongkok yang belum diketahui kapan bakal berakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo memprediksi, perang dagang bakal reda tergantung nasib Donald Trump di Pemilihan Umum (Pemilu) Amerika Serikat (AS) 2020 nanti.
“Semua negara termasuk Indonesia terkena dampaknya. Semua mengkoreksi berapa besaran penurunan pertumbuhan ekonominya tahun ini. Benar Indonesia ikut mengkoreksinya juga, tapi tidak sedalam negara tetangga lainnya,” kata Dody, usai menghadiri pengukuhan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Cirebon, Kamis (12/9).
Baca Juga:Ketika Qurma Mulai Berebut Pasar Pengguna MuslimCerita Kesaksian Penggali Makam Habibie di TMP Kalibata
Disebutkan dia, Singapura sudah mengkoreksi pertimbuhan ekonominya. Turun 0,5 persen dari rata-rata 3 persen pertahunnya. India mengkoreksi dari 7 persen menjadi 5 persen. Sedangkan Indonesia dari 5,2 persen dikoreksi hanya menjadi 5,1 persen saja.
“Iya ada perlambatan. Tapi, tidak sedalam negara lain,” tuturnya.
Triwulan II yang lalu, lanjut Dody, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05 persen. Pertumbuhan 5 persen dengan negara besar seperti Indonesia ini, sepatutnya disyukuri karena lebih baik dari negara lainnya.
Memang keinginan dan idealnya pertumbuhan ekonomi sekitar 5,5-6 persen. Dengan begitu bisa menyediakan lapangan pekerjaan, bisa menghindari dari jebakan negara-negara kelas menengah. Yakni negara yang ekonominya tidak tumbuh, sehingga bonus atau potensi demografinya hilang.
Oleh karenanya, BI dan pemerintah mengantisipasi dengan masuk ke sektor riil dan struktural. Khususnya untuk Cirebon yang masuk kawasan Segitiga Rebana yang akan dihubungkan dengan kawasan industri.
“Ini sudah menjadi pembahasan dan target utama nasional untuk mendorong industri manufaktur. Indonesia tidak akan tumbuh diatas 5,5 persen, bila industri manufakturnya tertinggal. Tidak bisa mengandalkan dari sumber daya alam, kita butuh loncatan yakni membangun industri manufaktur,” ucapnya.
Diungkapkannya, kenapa Indonesia tidak bisa memanfaatkan pindahnya puluhan pabrik besar dari Tiongkok? Karena Indonesia kurang ramah investasi, ketentuan, institusional, hukum dan perizinan. Itulah yang harus diperbaiki dalam waktu singkat ini. (*)