MALANG — Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni mengatakan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan perwakilan manajemen Bentoel Group, Selasa (10/9). Pertemuan ini ditunjukkan untuk mendapatkan penjelasan alasan ditutupnya Museum Bentoel di Jalan Wiro Margo Nomor 32, Kota Malang.
Berdasarkan laporan yang diterima, manajemen Bentoel Group memang sengaja menjual bangunan museum untuk kepentingan bisnis. “Mereka sudah menceritakan kronologinya,” ujar perempuan disapa Dayu ini saat ditemui wartawan di Kantor Diaspora Kota Malang, Selasa (10/9).
Manajemen, kata Dayu, telah mengungkapkan status bangunan museum itu masih baru. Museum dibangun sekitar 1994 sehingga belum berusia 50 tahun. Hal ini berarti Museum Bentoel belum masuk dalam kategori Cagar Budaya.
Baca Juga:Pariwisata ‘Naik Kelas’ Jadi Negara Maju pada 2045Dukung Sail Nias 2019, Poltekpar Medan Gelar Pelatihan Pengelolaan Homestay
Menurut Dayu, koleksi yang berada di dalam museum hanya replika. Bahkan, sepeda yang pernah disimpan bukan milik asli pendiri Bentoel, Ong Hok Liong. Museum hanya berisi keterangan perjalanan hidup Ong dari pengusaha biasa hingga sukses.
Jika bangunan terjual, maka manajemen berjanji akan memindahkan koleksi ke Kantor Bentoel Group di Jalan Niaga. Masyarakat masih bisa melihat perjalanan rokok kretek Indonesia. Di lokasi terbaru, manajemen berencana membangun tempat yang lebih representatif.
Manajemen juga tidak akan menamakan koleksi perjalanan Ong sebagai museum. “Karena jika menyebut museum, sesuai UU dan PP, maka ada empat hal yang harus dipenuhi. Yakni, ada tempat, punya koleksi, ada dana pengelolaan dan SDM yang mengelola. Apabila tidak memenuhi salah satu syarat, maka bangunan tidak dapat disebut sebagai museum,” ujar Dayu.
Pemerintah sesungguhnya tidak memiliki hak untuk melarang masyarakat menjual barang miliknya. Hal ini termasuk menjual sesuatu berstatus Cagar Budaya kepada pihak lain. Hal terpenting, pemilik barunya benar-benar memanfaatkan Cagar Budaya dan tidak mengubah bentuknya.
“Mengubah fungsi boleh seperti Shalimar Hotel itu bangunan cagar budaya. Sekarang fungsinya berbeda dari dahulu, asal dipertahankan bentuk luarnya,” tegasnya.
Menurut Dayu, pemerintah baru dapat mengambilalih suatu cagar budaya apabila koleksi tidak terpelihara dengan baik. “Pemkot (Pemerintah Kota) yang akan memelihara. Akan diberikan kompensasi, tapi kalau dibeli dengan harga dia, pemkot tidak bisa,” ujarnya. (*)