Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat kehakiman dari masa klasik (Hindu-Buddha) tidak semuanya ditulis di atas logam,tembaga, atau perunggu karena tidak praktis dan terlalu berat.
Biasanya ditulis di atas ripta berupa daun lontar atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat rusak dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan.
Pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan perkembangan masyarakat.Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa masyarakat Jawa kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan.
Kejahatan dari Masa ke Masa
Baca Juga:Simbol Perlawanan, Logo KPK di Gedung Merah Putih Ditutup Kain Hitam1×24 Jam, Pria Bertato Pelaku Penusukan Santri Husnul Khotimah Tertangkap
Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9-10 Masehi di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa pasca-Majapahit abad ke-13-15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
- Pasasti Balingawan berangka tahun 891 M dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminal walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan didesa tersebut, maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harusmembayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan desa yang bergantung pada hierarki pemerintahan di atasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurangefektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan. Desa Balingawan menjadi sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
- Prasasti Mantyasih (907 M) yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua diantaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkapyang ditulis di atas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan sima dariRaja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkanrakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakan pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa kuno terletak di sekitar Gunung Susundara (Sundara)dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
- Prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai WatukuraDyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yangmemisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapatserangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
- Prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, di antaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian), tutan (mengejar lawan yang kalah), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
- Naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanyagaris besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saatitu. Hukum tersebut berisikan: tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barangbyang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehaninupahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwakenmwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapaninwatas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan pranidan totohan tan prani (taruhan dan perjudian). Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, sepertiulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).