Belanda kemudian mengetahui bahwa wilayah Banjarmasin memiliki komoditi lada hitam yang bernilai tinggi di Eropa. Sehingga mereka melakukan ekspedisi pertama ke kesultanan Banjar bermaksud menjalin hubungan dagang, namun permintaan VOC tersebut ditolak.
Belanda kemudian mengirimkan ekspedisi keduanya pada 14 Februari 1606, namun kembali mendapat penolakan dari Kesultanan Banjar. Bahkan ekspedisi kali ini diwarnai dengan pertempuran dengan masyarakat Banjar, dan berakhir dengan tewasnya seluruh pasukan Belanda yang datang ke Banjarmasin.
Mengetahui hal itu, Belanda mengirimkan eskpedisinya yang ketiga pada 1612. Kali ini, Belanda memperkuat pasukannya dengan tiga buah kapal perang. Akibat dari serbuan pasukan Belanda tersebut, Sultan Mustain Billah, memindahkan pusat pemerintahan Banjar ke wilayah Martapura.
Baca Juga:Preman di Jawa KunoSimbol Perlawanan, Logo KPK di Gedung Merah Putih Ditutup Kain Hitam
Kemudian muncul nama Pangeran Antasari sebagai penguasa Kesultanan Banjar yang memimpin rakyat melawan Belanda. Peristiwa tersebut dikenal dengan Perang Banjar, berlangsung dari tahun 1859 sampai 1905. Pangeran Antasari dinobatkan sebagai raja Banjar pada 1859 di hadapan para kepala suku Dayak dan penguasa-penguasa wilayah kesultanan Banjar.
Pangeran Antasari mendapat gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Namun Pangeran Antasari hanya memimpin kesultanan Banjar hingga tahun 1862. Pangeran Antasari dikabarkan meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 akibat penyakit cacar.
Pangeran Antasari kemudian digantikan oleh putranya, Muhammad Seman, yang memimpin kesultanan Banjar cukup lama hingga akhirnya wafat pada 1905 ketika sedang melakukan pertempuran dengan Belanda di Sungai Manawing. Dengan wafatnya Muhammad Seman, maka berakhirlah kekuasaan kesultanan Banjar.
Belanda kemudian menghapuskan status kesultanan Banjar dan memasukkan seluruh bekas kekuasaannya ke dalam Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Pada 24 Juli 2010, kesultanan Banjar, yang sebelumnya telah dihapus oleh pemerintah Belanda sejak 1905, dihidupkan kembali statusnya oleh pemerintah Indonesia. Walaupun sudah tidak memiliki kekuasaan secara politik, tetapi menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Selatan. (*)