Pasca pengakuan kemerdekaan 1949, salah satu persoalan yang dihadapi oleh pemerintah republik dan proyek konsolidasi lembaga-lembaga negara adalah bagaimana baiknya menyatukan laskar dan milisi jago. Sebagian mendapatkan tempat di dalam tentara nasional yang anyar, tetapi sebagian besarnya kembali ke kampung mereka masing-masing. Dengan sedikit keahlian dan sedikit kesempatan kerja, banyak yang merantau dan mencari nafkah dengan menggarong dan melakukan kejahatan-kejahatan kecil di Jakarta.
Selama Orde Baru, geng-geng preman kian terlembagakan. Antropolog Ian Douglas Wilson dalam buku barunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia pasca Orde Baru (Marjin Kiri, Desember 2018) dengan cerkas meanggit, bahwa banyak di antaranya berada di garis depan pembantaian terencana anti-komunis yang mengangkat Suharto ke singgasana kekuasaan pada 1965.
Preman dikooptasi oleh tangan-tangan negara, terutama militer, menjadi sebuah struktur premanisme lebih luas serupa dengan cabang-cabang waralaba informal, yang diperbolehkan menjalankan sistem jatah preman mereka sendiri di tingkat lokal, dengan syarat hasilnya masuk ke struktur pemerintahan formal.
Baca Juga:Mulai 8 September: Berikut Wilayah di Indonesia, Hari Tanpa BayanganBMKG Ingatkan Cuaca Ekstrim Landa Wilayah Kepri
Agar lapisan-lapisan sistem ini bisa berfungsi, geng-geng preman juga diwajibkan menjalankan “tugas-tugas pemeliharaan rezim”, termasuk meneror dan menggertak para pembangkang dan pelbagai kekuatan sosial lainnya yang berpotensi mengguncang hubungan-hubungan kuasa yang setimbang, sambil mengumbar omong kosong perihal menjalankan ideologi negara.
Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru dalam praktiknya dicirikan oleh sejenis kegentingan khusus –langkah penyeimbangan yang sulit, di mana sejumlah besar badan negara dan aktor non-negara pengguna kekerasan tertungkus-lumus dalam persaingan, perundingan, persekutuan aji mumpung, dan siasat untuk memperluas dan memperkuat kekuasaan serta perolehan keuangan: sebuah masyarakat jatah preman.
Setelah Reformasi 1998
Lalu, muncul kelompok-kelompok yang merupakan penubuhan dari kontradiksi dan ketegangan yang mencirikan politik jalanan Jakarta pasca-Orde Baru. Terlepas dari orientasi ideologis atau politiknya, kelompok-kelompok ini menyediakan jejaring solidaritas, identitas, dan struktur kesempatan untuk memenuhi kebutuhan material dalam konteks lingkungan sosial-ekonomi yang tak memberi banyak pilihan.
Meski berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti itu dapat menyediakan struktur kesempatan dan perlindungan bagi anggota dan lingkungannya, tetapi mereka melakukannya dalam cara yang justru memperkuat -alih-alih menentang- keadaan yang ada. Dengan itu mereka mereproduksi marjinalisasi ekonomi basis sosialnya. Berbagai ormas ini bekerja sebagai penjaga gerbang bagi jejaring klientelis yang tertutup.