Evolusi preman
Meski keadaan di Batavia (Jakarta) berbeda, tetapi di sini pun jago juga tampil sebagai tokoh-tokoh yang membentuk apa yang oleh sejarawan Robert Cribb teroka sebagai “jejaring yang berdiri di luar hierarki kewenangan pemerintah, antagonistik kepadanya, tetapi tidak sepenuhnya memusuhinya”. Sebagai masyarakat yang nyaris sepenuhnya berpijak pada perniagaan, di rezim kolonial, para majikan beserta rombongan mandor dan jago-jago mereka berperan utama bagi kehidupan ekonomi kota itu.
Dalam konteks inilah istilah vrijman memasuki bahasa sehari-hari untuk melukiskan sebuah jenis baru jago perkotaan, pengusaha lepas di bidang kekerasan yang tidak mengabdi kepada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), tapi diizinkan berada di Hindia, dan menjalankan kerjanya demi kepentingan VOC. Dalam sebuah masyarakat yang terikat hukum, vrijman hadir di wilayah legal dan konseptual nan abu-abu, bekerja di dalam sekaligus di luar hukum.
Pada peralihan abad, makin birokratisnya pemerintahan kolonial membuat jago perlahan-lahan termarjinalkan. Mereka tergusur dari peran tradisional mereka dalam kehidupan pedesaan dan juga posisi politik mereka sebagai penengah dan makelar kekuasaan. Status mereka kian bergeser menjadi sekadar “penjahat” dan “pelanggar hukum”.
Baca Juga:Mulai 8 September: Berikut Wilayah di Indonesia, Hari Tanpa BayanganBMKG Ingatkan Cuaca Ekstrim Landa Wilayah Kepri
Selama pendudukan Jepang, geng-geng terorganisir digilas. Karena itulah, saat Jepang kemudian dilucuti dan ditarik mundur secara bertahap pada 1945 sesudah tiga tahun berkuasa dengan kejam, ada jurang kekosongan yang ditinggalkannya.
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tetapi pemerintahan yang mereka pimpin sesungguhnya tidak benar-benar ada. Di seantero tanah air, struktur kekuasaan formal negara yang dikukuhkan oleh pasukan pendudukan Jepang tumbang berguguran dan membuahkan pertempuran lokal yang kerap ganas demi memperebutkan kekuasaan dan sumber daya.
Kembalinya pasukan Belanda dan Sekutu pada 1945 mengawali kurun empat tahun perang gerilya berkesinambungan, dilancarkan oleh kelompok-kelompok mandiri lokal yang tak terpermanai jumlahnya, yang umumnya bergerak di luar kendali negara yang masih bayi itu.
Yang mempersatukan mereka hanyalah penolakan terhadap kembalinya kekuasaan Belanda. Milisi, gerombolan jago, dan geng-geng perkotaan membentuk bagian utama perlawanan terorganisir yang sering melangkahi tentara republik resmi.