Hingga 1980an, kata “preman” merujuk secara khusus kepada perwira militer tanpa seragam. Seiring waktu kata itu semakin berkonotasi kriminalitas, yang merepresentasikan pemahaman ihwal perpaduan antara kekerasan publik dan privat, serta ambiguitas antara legalitas dan ilegalitas yang mencirikan rezim Orde Baru.
Sejak kapan istilah “preman” menjadi bagian dari kebudayaan kita?
Sebelum kedatangan Belanda, lanskap sosial di Nusantara dibumbui oleh pusparagam penyamun, pendekar, tentara bayaran, ahli suluk, panglima perang, para pangeran dan sejumlah orang kuat, serta kelompok-kelompok pengguna kekerasan yang tinggal dalam apa yang didedahkan oleh sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai “hidup bersama yang saling bermusuhan”.
Realitas politik ini oleh para ahli sejarah dicirikan sebagai sebuah “negara pertikaian”. Yaitu negara di mana pemberlakuan kontrol efektif apa pun atas penduduk setempat dan sumber daya alamnya membutuhkan negosiasi terus-menerus, pembentukan dan pembubaran persekutuan, di samping ritual pameran kekerasan yang secara buas bersifat pragmatis.
Baca Juga:Mulai 8 September: Berikut Wilayah di Indonesia, Hari Tanpa BayanganBMKG Ingatkan Cuaca Ekstrim Landa Wilayah Kepri
Kondisi ini memudahkan pertumbuhan aneka bentuk campuran antara kekerasan publik dan privat yang pelaksanaannya disubkontrakkan ke pihak liyan. Dari sanalah orang-orang kuat setempat yang masyhur sebagai “jago” menjadi salah satu sosok yang paling menonjol.
Kendatipun sudah menjadi praktik umum bagi para jago untuk menyerang, menyerbu, dan menjarah desa-desa tetangga, mereka kerap sangatlah protektif terhadap komunitas mereka sendiri. Oleh sebab itu, mereka mendapatkan kesetiaan dari masyarakat, walaupun kesetiaan itu juga dilandasi sebagiannya oleh rasa takut akan konsekuensi yang mungkin didapat apabila dikhianati.
Simpulan tak terelakkan yang dicapai oleh rakyat adalah kekuasaan dan kejahatan itu sebangun.
Kedatangan dan perluasan berangsur kuasa kolonial Belanda tidak mengganggu posisi jago. Baru pada abad ke-19, seiring dengan menguatnya pemerintahan yang terorganisir secara birokratis, peran mereka bergeser. Alih-alih menjadi sasaran represi, jago menjadi bagian integral dari struktur kekuasaan kolonial, hasil dari proses pembentukan negara yang tersendat. Pemerintah kolonial berpusat di Batavia, tetapi jangkauan efektifnya tidak banyak yang sampai ke jantung pedesaan Jawa.
Untuk mengonsolidasi kekuasaannya, Belanda mengukuhkan pemerintahan tak langsung yang bersifat paralel, dikepalai oleh para pejabat pribumi yang dikenal sebagai bupati dan pangreh praja untuk memerintah Jawa. Di tingkat desa, semua yang menyerupai monopoli atas kekerasan berada dalam wilayah jago. Oleh karena itu setiap upaya untuk mengukuhkan “tatanan” mau tidak mau harus mengikutsertakan mereka.