Prasasti Kota Kapur. Prasasti ini ditemukan pada 1892 di Kota Kapur, Pulau Bangka. Ditulis menggunakan bahasa Melayu dan aksara Pallawa. Isinya, kutukan terhadap mereka yang melanggar atau berkhianat dengan Raja Sriwijaya.
Prasasti Palas Pasemah. Ditemukan di Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung. Diduga dibuat abad ke-7, menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa. Isinya sama seperti Prasasti Kota Kapur, kutukan terhadap mereka yang tidak tunduk dengan Sriwijaya.
Prasasti Hujung Langit. Ditemukan di Desa Haur Kuning, Lampung. Ditulis menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa pada 997 Masehi. Namun, isinya sulit dibaca karena mengalami kerusakan.
Baca Juga:Cerita Dubes Lyudmila Vorobieva Soal Pengalaman Rusia Pindah Ibu KotaKabar Pencopotan Jabatan Mayjen TNI Joppye Onesimus Wayangkau dari Pangdam Cenderawasih Tidak Benar
Prasasti Berahi. Prasasti menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa ini, ditemukan di tepi Sungai Batang Merangin, Karang Berahi, Merangin, Jambi, pada 1904. Isinya sama seperti Prasasti Kota Kapur, Palas Pasemah, yakni tentang kutukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan atau tidak setia dengan Raja Sriwijaya.
Prasasti Ligor. Prasasti ini ditemukan di Nakhon Si Tahmmarat, Thailand. Prasasti yang kemungkinan dibuat pada 775 Masehi ini memiliki dua sisi. Sisi pertama menyebutkan Prasasti Ligor atau manuskrip Viang Sa yang menyebutkan raja semua raja di dunia. Sisi kedua tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja. Prasasti ini menggunakan aksara Kawi.
Prasasti Leiden. Prasasti ini ditulis menggunakan Bahasa Sansakerta dan Tamil pada lempengan tembaga yang menyebutkan hubungan baik Dinasti Chola dari Tamil dengan Dinasti Syailendra dari Sriwijaya.
Bukti lainnya, seperti catatan I-Tsing, seorang biksu Buddha yang melakukan perjalanan ke Kerajaan Sriwijaya pada 651 Masehi. Perjalanannya dari Guangzhou, Tiongkok, ke Sriwijaya selama 20 hari. Lalu, berita dari Arab yang mengisahkan Raja Sriwijaya yang kaya emas, serta korespondensi Raja Sriwijaya di masa Sri Indravarman dengan kekhalifahan Umar bin Abdul Azis. (*)