Dalam tradisi Kristiani, simbol pentagram pun pernah ditasirkan sebagai sesuatu yang bersifat semesta dan ilahiah. Pada abad pertengahan (476 – 1492 M), pentagram merujuk pada lima luka Yesus di tiang salib. Rob Scholte Museum dalam ‘Symbolic Meaning of The Pentagram‘ mencatat simbol tersebut menghiasi arsitektur gereja-gereja di Eropa.
Dalam perjalanannya kemudian, makna pentagram sebagai yang bersifat saintifik, ilahiah dan positif itu mulai berubah menjadi tak sedap. Pentagram yang awalnya diasosiasikan sebagai penangkal keburukan diputarbalikan menjadi keburukan itu sendiri. Tepatnya menjadi simbol pemujaan setan.
Cerita tak sedap tentang pentagram sendiri dimulai pada abad ke-19. Di abad tersebut, ada kelompok olkutisme Eropa yang melawan otoritas agama dan Tuhan. Perlawanan itu, salah satunya, dilakukan dengan meruntuhkan simbol pentagram yang selama ini dipandang baik oleh masyarakat Eropa.
Baca Juga:Di Balik Tradisi Angpao di Tahun Baru ImlekKasus yang Bikin AKBP Bintoro Terseret Dugaan Pemerasan Nilai Miliaran Rupiah Terhadap Tersangka Pembunuhan
Menurut catatan New World Encyclopedia, pentagram yang dimaknai baik adalah yang memiliki satu sudut lancip yang menghadap ke atas. Formasi itu merepresentasikan otoritas roh atas materi. Sebaliknya, di tangan para satanis, simbol tersebut diputar dengan dua sudut lancip menghadap ke atas. Hal ini bermakna, kemenangan materi atas konsep keilahian.
Di tangan penganut okultisme itu, pentagram lalu dikombinasikan dengan Baphomet. Yakni, sosok dewa pagan yang berkepala kambing jantan bertanduk. Formasi pentagram yang telah diputar itu kemudian merepresentasikan kebangkitan kembali Baphomet.
Bersamaan dengan itu pula, gereja di Eropa mulai melupakan penggunaan pentagram. Itu karena, pentogram sudah tercemar dan diasosiasikan dengan pemujaan iblis. Memori kolektif atas citra pentagram yang buruk itulah yang terpatri hingga kini.
Dalam artikel berjudul ‘Symbols and Their Meaning’ yang diturunkan laman Cross Road, perbedaan makna pada sebuah simbol memang seringkali terjadi. Makna ganda dalam simbol agama pun tak terhindarkan.
Filsuf Prancis, Michel Foucault, memiliki sebuah elaborasi menarik dalam menyikapi perbedaan makna tersebut. Dalam Discipline and Punish (1975), ia menyebut sebuah peristiwa historis selalu berkelindan dalam permainan kebenaran (game of truths).
Dalam pengertian itu, setiap masyarakat memiliki sejarah dan cara hidupnya sendiri. Termasuk bagaimana memahami makna dan meyakini kebenaran yang berlaku pada masanya.