Dalam website pribadinya (kini diblokir pemerintah), Wenda menulis, ia pernah ditangkap dan ditahan di Jayapura pada Juni 2002. Sebelum itu, kata dia, rumahnya digeledah aparat tanpa surat perintah.
Penangkapan itu, menurut Wenda, didasari tuduhan bahwa ia menghasut massa untuk melakukan serangan ke kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura pada 7 Desember 2000. Insiden itu menewaskan seorang polisi dan satu petugas keamanan.
Pada 27 Oktober 2002, Wenda melarikan diri dari penjara Abepura berkat bantuan dari aktivis kemerdekaan Papua. Wenda kemudian diselundupkan ke Papua Nugini. Lalu, dengan dibantu oleh LSM di Eropa, ia melakukan perjalanan ke Inggris. Di Inggris, ia mendapatkan suaka politik. pada tahun 2003, Benny dan istrinya Maria bersama anak-anak mereka mulai tinggal di Inggris.
Baca Juga:UIN Yogyakarta Klarifikasi Disertasi Doktor UIN Yogya Soal Hubungan IntimRencana Bangun Bandara Kediri dan Harapan Pemilik Tanah
Pada 2011, Pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Wenda melalui interpol. Langkah itu, kata Wenda, adalah cara Pemerintah RI mencegahnya agar tidak mengampanyekan penentuan nasib sendiri bagi Papua di dunia internasional. Namun, pada 2012, Interpol menghapus nama Benny Wenda dari daftar red notice-nya, sehingga ia bisa bebas bepergian ke luar negeri kembali.
Dalam laporan Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2019, Benny Wenda mengakui ia mengeluarkan surat edaran untuk mengimbau agar rakyat Papua tak mengikuti upacara peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2019. Selain itu, ia juga menyatakan kasus rasisme ke mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur, merupakan momentum yang menyatukan rakyat Papua.
Melalui siaran persnya, pada 20 Agustus 2019, Wenda juga sudah menyatakan keprihatinannya atas situasi yang dialami mahasiswa asal Papua di Semarang, Malang, Surabaya, Ambon, Ternate dan Sulu-Maluku pada beberapa waktu lalu.
Ia menyebut, situasi yang dialami oleh mahasiswa Papua di Malang, Semarang dan Surabaya, merupakan gambaran kecil apa yang dipratikkan pemerintah RI kepada bangsa Papua selama 56 tahun ini. Hal ini, kata dia, sebagaimana juga pernah dialami rakyat dan pemimpin Indonesia di zaman pemerintahan yang berkuasa sebelumnya.
“Reaksi dan aksi rakyat bangsa Papua di beberapa tempat di West Papua; di Manokwari, Kota Sorong, Sorong Selatan, Jayapura, Kaimana, Bintuni, Serui, Biak, Merauke, Wamena, Nabire dan beberapa tempat lainnya di West Papua merupakan reaksi spontanitas mereka dalam membela harga diri dan martabat orang Papua sebagai manusia ciptaan Tuhan,” kata dia.