Beberapa pengunjuk rasa mengatakan mereka percaya bahwa para pejabat keamanan China atau Hong Kong telah mengeksploitasi fungsi tersebut dengan mengunggah sejumlah besar nomor telepon. Reuters tidak dapat memastikan apakah hal itu benar-benar telah terjadi.
Aplikasi Telegram secara otomatis akan mencocokkan nomor telepon dengan nama pengguna dalam grup. Pihak berwenang kemudian hanya perlu meminta pemilik nomor telepon dari layanan telekomunikasi lokal untuk mempelajari identitas asli para pengguna.
Telegram telah mendeteksi bukti bahwa pemerintah Hong Kong atau China daratan mungkin telah mengunggah nomor ponsel untuk mengidentifikasi para pengunjuk rasa, menurut seseorang yang mengetahui situasi tersebut secara langsung. Tetapi belum jelas apakah pihak berwenang telah berhasil menggunakan taktik tersebut untuk menemukan para demonstran.
Telegram masih belum menanggapi permintaan komentar.
Baca Juga:Timor Leste Merdeka, Masih Miskin?Imigrasi Deportasi 4 Warga Australia, Ikut Demonstrasi di Papua
Sekelompok insinyur Hong Kong yang mengunggah temuan mereka di forum online awal bulan Agustus 2019 juga mengatakan bahwa sebuah fitur dalam desain Telegram mungkin telah memungkinkan otoritas China daratan atau Hong Kong untuk mempelajari identitas asli pengguna.
Perbaikan yang dikerjakan Telegram akan memungkinkan pengguna untuk menonaktifkan pencocokan berdasarkan nomor telepon. Opsi itu mewakili keseimbangan antara mempermudah pengguna untuk menemukan sesama pengguna melalui daftar kontak mereka dan kebutuhan privasi mereka yang bergantung pada aplikasi itu untuk melindungi diri dari agen keamanan negara, menurut sumber itu.
Tetapi adopsi yang luas dari pengaturan keamanan opsional itu akan mempersulit penggunaan aplikasi Telegram bagi sebagian besar dari lebih dari 200 juta konsumennya, yang mengandalkan pencarian kontak telepon untuk mengidentifikasi teman dan anggota keluarga pada aplikasi itu, menurut sumber tersebut.
Bulan Juni 2019, kepala eksekutif Telegram Pavel Durov mengatakan bahwa layanan pesan itu mengalami serangan siber oleh “aktor setingkat negara” dan menganggap China sebagai negara kemungkinan asal serangan itu.
Durov tidak memberikan rincian lebih lanjut, tetapi mengatakan bahwa serangan itu bertepatan dengan protes di Hong Kong. Cyberspace Administration of China (CAC) tidak menanggapi permintaan komentar melalui faksimile pada saat itu.