Selain dijadikan legitimasi, sumber-sumber kuno semacam itu juga sangat diragukan validitasnya. Yakob Sumarjo dan Saini K.M. dalam Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol Babad Pakuan (2004) menyebutkan bahwa penulisan Babad Galuh, misalnya, hanya diperoleh dari bahan-bahan yang berupa mitos (hlm. 125).
Cukup banyak gempa bumi atau tsunami di Nusantara pada masa silam yang tercatat dalam hikayat. Ada beberapa kearifan lokal yang justru memberikan panduan dengan lebih rasional terkait terjadinya bencana alam, termasuk gempa bumi atau tsunami.
Lontarak Pangissengeng salah satunya. Naskah kuno dalam tradisi masyarakat Bugis ini membahas beberapa hal terkait gempa bumi yang sering melanda wilayah Sulawesi pada masa silam.
Baca Juga:Jokowi: Uang yang Disimpan di Luar Negeri Rp11.000 triliun, Datanya Ada di Kementerian
Ada pesan positif yang terkandung dalam catatan lama itu tentang gempa. Gempa bumi, seperti dikutip dari buku Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan (1991) karya Ahmad Yunus, terjadi karena tingkah laku manusia. Orang-orang besar (para pemimpin) bertikai, demikian pula orang banyak atau masyarakat luas (hlm. 81).
Di Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja diterpa gempa bumi diikuti tsunami dengan menelan korban ribuan jiwa, juga terdapat kearifan lokal yang rasional. Menurut Dody Hidayat dan kawan-kawan dalam Gempa: Kumpulan Artikel Ilmu & Teknologi Majalah Tempo (2013), wilayah ini memang menjadi kawasan rawan gempa sejak dulu karena terletak di atas tumbukan tiga lempeng bumi.
Ada satu desa di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah, bernama Tanah Runtuh. Nama ini ternyata bukan dongeng belaka. Desa itu pernah benar-benar lebur dihantam gempa bumi dan tsunami pada masa silam, demikian dilaporkan Kompas (4/9/2012) dalam artikel “Hikayat Runtuhnya Tanah Runtuh“.
Di Aceh, yang beberapa kali dilanda gempa bumi dan tsunami selama perjalanan panjang riwayatnya, bahkan tercipta kearifan lokal yang sangat bermanfaat melalui hikayat atau syair yang beberapa di antaranya memberikan semacam panduan bilamana terjadi bencana alam.
Salah satunya adalah Syair Nandong yang dilafalkan turun-temurun sejak berabad-abad lalu. Syair ini di antaranya berbunyi:
anga linon ne mali