Masyarakat lokal Nusantara zaman dahulu memang memaknai alam secara simbolis. Gejala alam tidak jarang diterjemahkan sebagai penanda sesuatu, baik positif maupun negatif.
Tak hanya berupa mitos, kepercayaan, atau bahkan dongeng, pemaknaan fenomena alam tidak jarang juga diabadikan dalam wujud babad, naskah kuno, syair, kidung, atau lainnya. Kendati begitu, tidak sepenuhnya bentuk kearifan lokal seperti itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam perkara gempa bumi dan tsunami di Bali pada 1815, misalnya, terdapat perbedaan data yang tercatat dalam Babad Buleleng atau Babad Ratu Panji Sakti dengan hasil riset akademis.
Baca Juga:Jokowi: Uang yang Disimpan di Luar Negeri Rp11.000 triliun, Datanya Ada di Kementerian
Dua babad itu menyebutkan lebih dari 10 ribu orang tewas akibat tragedi tersebut. Namun, laporan Sergei Leonidovich Soloviev dan Cham Nham Go bertajuk “Catalogue of Tsunami on the Western Shore of the Pasific Ocean” (1984) mengungkapkan korban jiwa tsunami berjumlah 1.200 orang.
Kearifan lokal terkadang juga digunakan sebagai legitimasi kekuasaan pada zaman raja-raja dulu. Sebagai contoh, gempa bumi pada 1256 Saka atau 1334 Masehi di Jawa Timur. Serat Pararaton mencatat, dikutip dari Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) karya Slamet Muljana, alam berguncang sesaat sebelum lahirnya Hayam Wuruk (hlm. 133).
Pararaton memaknai gempa bumi itu sebagai penanda perubahan, bahwa akan lahir seorang calon raja besar. Dan memang, Hayam Wuruk—bersama Mahapatih Gajah Mada—nantinya menjadi raja yang berhasil membawa Kerajaan Majapahit merengkuh kejayaan, bahkan sebagai imperium terbesar kala itu.
Namun, kitab kuno kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Dituliskan Aminuddin Kasdi dalam Serat Pararaton Atawa Katuturanira Ken Arok: Kajian Historis sebagai Sastra Sejarah (2008), Pararaton berfungsi untuk memberikan pengukuhan terhadap Dinasti Rajasa atau keturunan Ken Arok, termasuk Hayam Wuruk (hlm. 30).
Politisasi gejala alam yang tertulis dalam naskah lama juga pernah digunakan sebagai legitimasi oleh Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat melalui Babad Galuh. Penobatan Prabu Siliwangi pada 1482 dibarengi dengan terjadinya gempa bumi yang diklaim sebagai sambutan alam bahwa raja baru yang akan membawa kemajuan telah hadir.