13 Februari, Perjanjian Giyanti Cikal Bakal Mataram Islam Terpecah Jadi Dua

13 Februari, Perjanjian Giyanti Cikal Bakal Mataram Islam Terpecah Jadi Dua
Naskah Perjanjian Giyanti. (Foto: Wikimedia Commons)
0 Komentar

BERBAGAI peristiwa penting dan bersejarah terjadi pada 13 Februari. Sebut saja adanya Perjanjian Giyanti atau Babad Giyanti pada 1755. 267 tahun yang lalu, Perjanjian itu ditandatangi. Penandatangan Perjanjian Giyanti adalah muasal terpecahnya Kerajaan Mataram Islam jadi dua: Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.

Bertempat di Desa Giyanti, dekat Salatiga, pihak VOC dan kubu Pangeran Mangkubumi kembali bertemu. Atmakusumah dalam Takhta untuk Rakyat (2011) menyebut bahwa Perjanjian Giyanti merupakan kesepakatan yang pada pokoknya “membelah nagari” atau membagi Mataram menjadi dua bagian (hlm. 126).

VOC, yang peran utamanya adalah inisiator sekaligus mediator, justru menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan adanya perjanjian ini. Surakarta dan Pakubuwana III sudah berada di bawah kendali, kemudian segera menyusul Pangeran Mangkubumi yang sebelumnya sangat merepotkan. Musuh yang tersisa bagi VOC tinggal Raden Mas Said yang terus melawan setelah pecah kongsi dengan Pangeran Mangkubumi. Mas Said merasa keputusannya tepat setelah menemui kenyataan bahwa mertuanya itu justru berdamai dengan VOC demi kekuasaan, kendati hal serupa juga menjadi pilihannya kelak.

Baca Juga:Bikin Kejutan Hadiah Valentine dari Tokopedia? Intip Dulu Zodiak Si DiaPemekaran Wilayah, 9 Provinsi Baru Ini Diisukan Bakal Hadir di Pulau Jawa

Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Kasultanan Yogyakarta: Suatu Tinjauan tentang Kontrak Politik 1877-1940 (1985) menyebutkan, ada 9 pasal yang disepakati dalam Perjanjian Giyanti (hlm. 8-35). Poin intinya adalah penyerahan setengah wilayah Mataram dari Kasunanan Surakarta kepada Pangeran Mangkubumi. Namun, poin-poin lainnya dalam perundingan itu sangat menguntungkan VOC.

Poin-poin itu di antaranya adalah bahwa setelah menjadi sultan, Pangeran Mangkubumi tidak berwenang mengangkat serta memecat para bupati dan pepatih dalem (setara perdana menteri selaku pelaksana pemerintahan) tanpa persetujuan VOC. Sementara para bupati dan pepatih dalem sebelumnya harus bersumpah setia di hadapan pejabat VOC sebelum melaksanakan tugas.

Tidak hanya itu. Sultan dituntut untuk selalu bekerjasama dengan VOC. Namun, jika nantinya terjadi perang dan ada bupati yang memihak VOC, maka sultan harus mengampuninya. Sultan juga wajib memberikan bantuan jika sewaktu-waktu Pakubuwana III dari Surakarta memintanya.

Perjanjian Giyanti juga menyebutkan bahwa Sultan tidak berhak meminta Madura dan daerah-daerah pesisir yang telah dikuasai VOC. Sebagai gantinya, VOC akan memberikan ganti rugi sebesar 10.000 real tiap tahun.

0 Komentar